Rabu, 22 Agustus 2012

KATA PENGANTAR Mendengar kata panggilan secara otomatis kita berpikir mengenai Imamat atau hidup membiara. Dengan demikian sering mengartikan Panggilan sebagai cara hidup religius. Pada kenyataanya Tuhan memanggil banyak orang dengan berbagai misi tertentu. Dari kenyataan ini memikat saya untuk setia akan Panggilan. Sesuatu istimewa saya dapatkan. Dapat bergabung dengan banyak teman dari berbagai daerah berbeda. Mendengar sharing dari banyak teman mendorong saya untuk mau mengartikan panggilan menjadi sesuatu ”plural”. Rupanya tujuan kami masuk Seminari bukan hanya ingin menjadi Imam yang menggembalakan umat, ingin menjadi Imam dengan profesi guru, menjadi Imam dengan profesi seni, bahkan ada yang ingin menjadi katekese. Sangat dibenarkan ”Banyak jalan untuk mengikuti Yesus”, menjadi Imam adalah salah satunya. Kedatangan saya diSeminari ingin menjadi Imam berekarakter. Tentunya tidak mudah mewujudkan impian ini. Selain itu harus melibatkan banyak orang untuk mencapai garis akhir. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada: Rm. Bernadus Winuryanto, Pr Rm. Antonius Suwahyo, Pr Rm. Marten Wela, O.Carm Rm. Yustinus Dwiyanto, O.Carm Rm. Petrus Pahala, O.Carm Fr. Vidi, Pr Fr. Dimas Setyawardana, Pr Fr. Kartolo, O.Carm Fr. Willi, O. Carm Semua Saudara-saudariku yang terlibat dalam proses Formatio. Mereka sangat berperan dalam diri saya. Hanya rasa cinta yang mampu menyatukan mereka dan saya. Mereka selalu mewarnai jalan panggilan yang indah dan membara ini. Saya juga menghaturkan puji dan syukur kepada Tuhan atas uluran tanganya sehingga refleksi ini dapat terselesaikan. Refleksi ini dapat terselesaikan juga berkat pendampingan mereka semua. Lewat refleksi ini saya akan mengungkap semua kehidupan saya di tahun yang ke tiga. Refleksi ini berisikan “Bunga Rampai” selama menempuh masa formatio di Seminarium Marianum K.Malang. semoga refleksi ini dapat mendorong saya melangkah kedepan dan memotivasi para pembaca untuk tergerak mendalami makna dan arti panggilan sesunguhnya. Amin. DAFTAR ISI Cover......................................................................................................................... Pengesahan Formator................................................................................................ Kata Pengantar......................................................................................................... Daftar Isi................................................................................................................... BAB I AWAL DATANGNYA PANGGILAN **Sejarah Panggilan...................................................................................... **Tujuan Masuk Seminari............................................................................ BAB II BUNGA RAMPAI Refleksi I Hidup Adalah Sebuah Proses...................................................... Refleksi II Dunia Dibagi Tiga...................................................................... Refleksi III Expo Panggilan Paroki Maria Bintang Samudera Situbondo.. Refleksi IV Doa Dan Senyum..................................................................... Refleksi V Hidup Bijak Dalam komunitas Seminari................................... Refleksi VIKategori Dan Pandangan Hidup Seminaris.............................. Refleksi VIILima Bejana sebagai dasar Menanggapi Panggilan............... Refleksi VIIILive In Paroki Curahjati- Banyuwangi Selatan..................... Refleksi IX Melihat Dan Menjalani Resiko Secara Global......................... Refleksi X Membangun Identitas Diri......................................................... Refleksi XIMenguak Disiplin, Perhatian, Dan Respek............................... Refleksi XIIMenguak Doa Dan Kaitanya Dengan Panggilan..................... Refleksi XIII Tidak Ada Waktu Yang Terbuang......................................... Refleksi XIVRetret Seminarium Marianum Di Sawiran............................ Refleksi XVYouth Cristian Caracter Building............................................ Refleksi XVI Temu Seminari Regio Jawa-Bali 2011.................................. Refleksi XVII Tujuh Pilar Kehidupan......................................................... Refleksi XVII Puisi...................................................................................... BAB III PERMENUNGAN DAN MAKNA.......................................................... BAB IV KONSEP DAN TUJUAN KE DEPAN.................................................... BAB V PENUTUP................................................................................................... BAB I AWAL DATANGNYA PANGGILAN Sejarah Panggilan Awal mula ketertarikan menjadi Imam tertanam sejak kecil. Ketika SD saya begitu senang melihat Pastor paroki memimpin perayaan Ekaristi. Seringkali orang tua saya Bertanya-tanya mengenai Cita-cita saya, dengan polos menjawab ingin menjadi Imam. Tentunya pemikiran saya waktu itu masih belum pasti. Selama menempuh pendidikan SD saya sangat senang dengan mata pelajaran Agama, pertanyaan serupa saya alami disekolah, Pak guru bertanya tentang Cita-cita saya. Jawaban polos kembali saya ungkap, saya ingin menjadi Imam. Saat itu saya belum mengetahui seluk beluk panggilan. Namun ketika kelas 6 SD saya sedikit mengetahui bahwa proses pembinaan calon Imam sangat lama dan rumit. Sempat muncul dalam benak saya, ingin menjadi pelayan Tuhan harus Benar-benar mempersiapkan diri dengan sungguh. Tidak terasa masa SD telah terlalui begitu cepat. Niatan menjadi Imam masih ada. Setelah lulus SD saya melanjutkan di SMP PGRI 1 Kalipare-Malang. Dalam proses sosialisasi saya menemukan banyak teman mempunyai karakter berbeda satu dengan yang lain. Disitu pula saya harus berhadapan dengan Teman-teman”Nakal”, disitu saya tidak bisa menahan diri. Saya sempat terpengaruh rokok selama dua tahun, memang saya tidak bisa lepas dari Teman-teman karena mereka adalah sahabat dekat. Itulah salah satu penyebab saya ikut menggunakan rokok, dalam perjalan waktu saya berpikir mengapa saya mengikuti Hal-hal yang tidak baik, jika hal tersebut saya lanjutkan pasti saya akan rugi sendiri. Saat itu juga saya merenung dan merefleksikannya, dari apa yang telah saya renungkan saya mendapatkan gambaran ”Bahwa hidup itu adalah Film yang terbaik, bila hidup ini saya Sia-siakan pasti tidak mempunyai guna”. Pengalam tersebut semakin meneguhkan niatan saya masuk Seminari, dilain sisi saya selalu berdoa agar Tuhan memberikan jalan yang terbaik untuk masa depanKu kelak. Di SMP saya ikut aktif kegiatan Gereja, rasanya kalau satu kali tidak hadir seperti ada sesuatu yang mengganjal. kegiatan yang saya ikuti ialah: PPA, Legio Maria, MUDIKA, Doa kelompok lingkungan, dan Ekaristi setiap hari minggu. Berawal dari sini saya merasakan getaran panggilan. Ketika misdinar banyak hal saya amati dari awal hingga akhir, begitu indah hidup menggereja dan menjadi indah bila saya bisa memimpin perayaan Ekaristi. Saat itu saya sangat dekat dengan pastor paroki, karena dia amat baik serta bijaksana. Dari situ Pastor Paroki juga mengarahkan saya menjadi calon Imam masa depan. Dia begitu perhatian dan terus mengarahkan saya akan agungnya panggilan Tuhan. Ketika Pastor paroki datang kerumah saya, dia bertanya setelah lulus SMP kamu mau sekolah dimana. Saya menjawab, saya ingin masuk Seminari namun orang tua hanya mampu membiayai sekolah di SMK Muhamadyah Donomulyo-Malang atau ke SMA Taman Siswa Donomulyo-Malang. Dilain sisi orang tua saya tidak mengijinkan masuk Seminari. Disinilah kendala masuk Seminari. Saya harus bisa menerima kenyataan ini, karena saya tidak mungkin memaksa orang tua untuk berbuat lebih. Dalam percakapan Pastor paroki memutuskan untuk membantu saya masuk Seminari, namun konsekuensinya saya harus Benar – benar niat dan setia dalam menempuh masa Formatio. saya sangat bersyukur dan berterima kasih karena Tuhan memberikan jalan terbaik untuk saya. Dihri berikutnya ketika Pastor paroki datang kerumah saya dan memberi tahu bahwa akan ada Testing masuk Seminari. Dia bertanya pada saya, kamu mau ikut Testing gelombang berapa, Saya menjawab terserah Romo, lalu dia berkata kepada saya bahwa saya harus fokus terlebih dahulu pada ujian Nasional. Saya diberi tawaran untuk testing setelah ujian Nasional. Saat itu hati saya sangat senang karena impian saya terjawab. Setelah tiba testing masuk Seminari Pastor paroki memberi tahu agar saya mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Rencananya saat testing saya akan diantar Pastor paroki, namun dia tidak bisa mengantar saya karena mau cuti ke Sumatra. Pastor paroki juga meninggalkan surat pengantar untuk dibawa ke Seminari. Ketika mau berangkat testing bapak saya sakit dan tidak bisa menghantarkan saya ke Seminari. Pada saat itu kakak Fr.happy,O.carm yang menghantarkan saya ke Seminari. Disitulah Tuhan sungguh berkarya dalam diri saya secara utuh. Setibanya diSeminari saya dihadapkan dengan Para Seminaris dan Formator, disitu banyak hal yang harus saya selesaikan, Saya langsung bergabung dengan para Seminaris, disitu saya memperkenalkan diri kepada mereka. Saya mengikuti testing selama dua hari, ada juga kesulitan saat saya Testing. Saya harus wawancara dan mengerjakan Soal-soal yang telah disediakan, memang sangat sulit bagi saya yang baru beradaptasi dengan model pendidikan Kota. Puji syukur Testing berjalan dengan baik dan dapat saya lewati sekalipun banyak kesulitan. Setelah testing selesai saya di beri amplop, tidak tahu apakah diterima atau tidak, namun saya tetap berpikir positif bahwa dan pasti diterima. Saat pulang hujan sangat lebat dan terpaksa harus pulang, karena besok ada ujian sekolah. Saya dihantar oleh Romo Marthen, kebetulan dia mau merayakan Ekaristi di lumajang. Sampainya diterminal puji syukur saya langsung mendapat bus jurusan Malang, setelah diMalang puji syukur saya langsung mendapat bus jurusan Blitar. Suatu kasih yang saya terima sehingga bisa pulang. Ternyata peranan Allah sangat penting dalam peristiwa yang saya jalani. Sesampai dirumah saya membaca surat di amplop yang isinya memberitahukan bahwa saya diterima diSeminarium Marianum K.Malang. Saya masuk pada bulan juli. Saya tidak bisa berucap satu katapun dan saya kembali berterima kasih karena Tuhan membuka jalan bagi saya. Demikianlah sekilas mengenai sejarah Panggilan saya. Tujuan Masuk Seminari “Bukan kamu yang memilih Aku! Tetapi akulah yang memilih kamu! Dan aku telah menetapkan kamu, Supaya kamu pergi Dan menghasilkan buah dan buahmu tetap, Supaya apa yang kamu minta kepada Bapa Dalam namaku diberikan kepadamu Inilah perintahku kepadamu Kasianilah seorang akan yang lain”. Sepintas cuplikan injil yang mendasari tujuan awal masuk Seminari. Rasa cinta, keinginan menjadi baik, berbelas kasih, murni, mengampuni dan keinginan menjadi pribadi baik merupakan tujuan pokok masuk Seminari. Pengalaman yang menajubkan dan panjang menyadarkan saya, bahwa Tuhan secara pribadi mencintai dan ingin dan ingin mengarahkan saya sebagai calon Imam masa depan. Tuhan Benar-benar menaruh rasa cinta kepada saya, sehingga boleh menapaki Panggilan. Dalam arti yang sesungguhnya Panggilan merupakan ajakan untuk menjawab cinta kasih Tuhan dan kesanggupan menerima tuntutan cinta kasih Tuhan yang bermakna, “Ikut menanggung Salib”. Bila dikaitkan dengan tujuan awal saya masuk Seminari, saya secara langsung menjalin hubungan dengan dan dalam semangat Kristus, berarti mencinta, juga berarti sadar akan cinta kasih Allah, dan menyalurkan daya kekuatan Allah kepada orang lain dengan dengan tanggapan penuh cinta, penuh syukur kepada sang kekasih Ilahi. Sebagai rasa cinta kepada Tuhan saya memperbesar keinginan saya menjadi Calon Imam. Memang banyak jalan mengikuti Tuhan, bagi saya jalan yang paling mantap yaitu “Mengikuti Yesus dengan cara menjadi seorang Imam”. Hati saya semakin mantap karena Roh Tuhan ada padaku sebab Tuhan mengurapi aku untuk mewartakan kabar gembira kepada orang menderita dan sengsara ( Yes 61 ). Bayangan untuk kedepan masih terlihat sinarnya. Sebagai manusia biasa saya dituntut memperbaharui dan dan melaksanakan tujuan awal masuk Seminari. Sesungguhnya. Tujuan merupakan jembatan yang mengarahkan saya ketika berjalan. Tujuan masuk Seminari bukanlah sebuah hal yang saya Buat-buat, melainkan niatan awal menuju jalan terbaik. Saat tujuan itu saya pilih sebagai patokan saya secara tidak langsung mensugesti bahwa banyak tantangan serta badai yang akan datang. Kendati demikian Tuhan pasti tetap memantapkan tujuan saya melalui Doa dan Pembinaan. Beberapa hal sering saya ucapkan sebagai dasar memperkuat tujuan saya dalam realita: “ Aku ingin mengabdi Tuhan seumur Hidup”. “ Aku ingin membantu orang yang menderita”. “ Aku ingin menjadi Misionaris”. “ Aku ingin mengabdikan pada dia dalam Doa dan Pelayanan”. “ Aku ingin membantu mengembangkan kerajaan Allah”. Tujuan yang selama ini tidak saya sadari, sebagai manusia biasa dituntut untuk mematangkan intelektual maupun dalam hal emosional karena Hal-hal tersebuat akan membantu merealisasikan tujuan saya. Seiring berjalanya waktu dikit demi sedikit muncul keinginan melakukan kehendak Tuhan. Saya juga berusaha menyisihkan pengalaman saya yang paling menarik dan saya simpan demi terealisasinya kehendak Tuhan. Memang mencapai semua itu harus berani mengambil resiko, menghadapi “ hal yang tidak saya kenal” serta meninggalkan orang-orang yang tercinta serta sanak saudari . harapan saya masuk Seminari juga ingin mencari peneguhan rohani. Tentunya tuntutan kedepan sangat besar, agar bisa berjalan mulus maka saya harus mau terbuka secara utuh kepada pembimbing rohani. Tujuan saya masuk seminari juga didukung keinginan menghayati Doa dalam hidup. Secara sadar saya dituntut sebisa mungkin menjalin hubungan (interaksi) dengan Saudara-saudara sepanggilan. Otomatis bila saya tidak mampu menjalin hubungan dengan baik, saya akan kecewa serta membawa pada perpecahan, dilain sisi hidup Doa dan komunitas akan menjadi berat. Begitu banyak tujuan yang saya tanam tentunya banyak pula konsekuensi yang harus saya tanggung nantinya , disinilah kebenaran tujuan saya ditantang dan diteguhkan. satu hal yang berat bagi saya yaitu, seberapa besar cinta yang saya taruh dalam menempuh hidup panggilan?. Kiranya semua yang menjadi harapan dapat saya pakai sebagai tolok ukur partisipasi dan kesetiaan akan janji janji yang telah saya ucapkan ketika awal masuk Seminari. Hanya satu kata terucap dalam benak saya, saya amat mencintai Enggkau ya Tuhan dan Panggilan kudus yang enggkau berikan pada hambamu ini. “Jagalah panggilan, perihalalah maka panggilan akan menjaga dan memelihara setiap kamu melangkah”. BAB II BUNGA RAMPAI Refleksi I Hidup Adalah Sebuah Proses H`ri pertama Tanggal 27-29 Februari 2012 seminarium marianum Keuskupan Malang mengadakan kegiatan sosial ekonomi. Tujuan kegiatan sosial ekonomi membentuk pribadi berkarakter sederhana. Artinya mampu menerima situasi saudara-saudari yang miskin. Pengertian miskin mencakup banyak hal, antara lain miskin jasmani, rohani, materi, dan lain sebagainya. Diharapkan setiap seminaris mampu memaknai serta mengambil inspirasi dari setiap peristiwa. Saya tugas di kota Malang bersama tiga teman seminaris, yaitu Karolus, Krisna, dan Juventus. Sebelum berangkat, dalam satu komunitas sosial ekonomi berdoa di depan patung Bunda Maria mohon perlindungan dan keselamatan. Saya mempunyai pemikiran bahwa kegiatan sosial ekonomi menyenangkan. Bermodalkan suara serak-serak basah, saya dan tiga teman seminaris berangkat untuk merasakan hidup baru. Untuk uji mental saya dan tiga teman seminaris mulai menjual suara (ngamen) di pertokoan menuju arah terminal kota Probolinggo. Hasilnya baik, saya dan tiga teman seminaris tidak malu menjual suara (ngamen). Banyak orang merespon positif dengan memberi senyuman dan uang receh. Tidak terasa hari semakin siang dan matahari semakin terik. Saya dan tiga teman seminaris sepanjang perjalanan mencari tumpangan, mengingat hari semakin siang dan perjalanan masih jauh. Syukur kepada Allah di lampu merah dekat terminal kota Probolinggo, ada orang Madura bersedia memberi tumpangan sampai Nguling. Sepanjang perjalanan menuju Nguling, saya tersenyum senang. Sesampainya di Nguling, saya dan tiga teman seminaris berjalan menuju kabupaten Pasuruan. Di kabupaten Pasuruan, saya dan tiga teman seminaris tidak menjual suara (ngamen). Mengingat jumlah pengamen kabupaten Pasuruan sangat banyak dan ada yang menguasainya. Perjalanan semakin lama semakin jauh, saya capek, haus, dan lapar. Saya ingin menyerah, tetapi sudah terlanjur menjalaninya. Dari jarak pandang jauh terlihat masjid, saya berjalan cepat dan segera menghampirinya. Saya membasuh muka dan minum air hingga puas. Terasa cukup, saya dan tiga teman seminaris melanjutkan perjalanan. Tidak terlalu jauh meninggalkan masjid, ada orang memberi tumpangan sampai terminal kota Pasuruan. Orang itu memberi tumpangan di dasarkan rasa kasihan dan ingin membantu. Namun saya mengeluh, karena matahari terik dan macet panjang. Sesampainya di terminal kota Pasuruan, saya dan tiga teman seminaris berjalan lagi menuju pusat kota Pasuruan, dan berharap ada orang bermurah hati memberikan tumpangan. Tidak lama kemudian ada tronton besar menghampiri dan orang yang mengemudikan memberikan tumpangan. Dengan rasa takut, saya dan tiga teman seminaris naik tronton. Saya mengalami kesulitan untuk naik tronton dan harus melalui tiga tahap untuk sampai di bak tronton. Saya baru pertama kali naik tronton. Tronton berjalan cepat dan tidak bisa berhenti sesuai dengan harapan, karena sebelumnya tidak ada konfirmasi lanjut. Puji syukur ada lampu merah, saya dan tiga teman seminaris segera turun dari tronton. Tanpa mengucap terima kasih kepada sopir, saya dan tiga teman seminaris meninggalkan lampu merah dan melanjutkan perjalanan. Saya dan tiga teman seminaris melepas lelah dan membeli minum di depan perusahaan konveksi. Sambil melepas lelah, saya menikmati wajah cantik salah satu pekerja konveksi. Karena jumlah uang berkurang untuk membeli minum, saya dan tiga teman seminaris menjual suara (ngamen) lagi sambil menikmati perjalanan menuju kota Malang. Syukur kepada Allah dalam kondisi capek ada orang yang menumpangi sampai Lawang-Malang. Saat itu hujan lebat, saya kedinginan, capek, haus, dan lapar. Andai kata tidak ada orang yang peduli, saya dan tiga teman seminaris kehujuanan di jalan. Sesampainya di Lawang, saya dan tiga teman seminaris berjalan menuju jembatan layang Malang. Krisna salah satu anggota kelompok saya terpeleset dan jatuh. Dia mengalami kesakitan di bagian pinggang dan sempat terdiam beberapa menit. Dirasa mampu melanjkutkan perjalanan, saya dan tiga teman seminaris menatap ke depan dan berjalan. Karena hujan semakin deras, saya dan tiga teman seminaris berteduh di pos Polisi Militer Lawang-Malang. Selang beberapa menit berteduh, saya dan tiga teman seminaris diminta untuk meninggalkan pos oleh seorang Tentara. Orang-orang berjualan makanan di depan pasar Lawang sangat ramai. Saya dan tiga teman seminaris memanfaatkan situasi untuk menjual suara, hasilnya sangat memuaskan. Seusai menjual suara, saya dan tiga teman seminaris melanjutkan perjalanan. Di dekat rumah sakit “siti mariam”, saya dan tiga teman seminaris menikmati mie kremes dan minum untuk menahan lapar . karena hari sudah malam dan hujan, saya dan tiga teman seminaris memutuskan untuk naik angkot menuju jembatan layang kota Malang, untuk melepas lelah dan tidur. Saya menyempatkan diri untuk mohon perlindungan pada Tuhan untuk istirahat malam ini, supaya siap menyambut kedatangan Tuhan. Saya tidak bisa tidur, karena jembatan layang ramai dengan hiruk pikuk kendaraan bermotor. Malam semakin larut, suhu dingin dan banyak nyamuk. Saya hanya membawa satu helai sarung dan satu pasang kaos kaki untuk melindungi tubuh. Dari pengalaman hari pertama saya merasa tidak berdaya, karena sepanjang hari ini Tuhan menolong saya, melalui orang yang saya jumpai. Tanpa pertolongan Tuhan, saya tidak akan samapai di kota Malang dengan selamat. Namun saya belum puas dan masih menuntut lebih, anehnya Tuhan masih sabar dan tidak berhenti menolong saya. Sebagai seorang seminaris saya diarahkan untuk membuka hati. Karena sepanjang hari ini Tuhan mengetuk pintu hati saya tetapi saya tidak membukanya (tidak menghiraukan). Saya sibuk dengan rasa tidak puas dan keluhan. Sudah saatnya saya merubah sikap yang tertutup menjadi terbuka untuk Tuhan dan sesama. Hari kedua Hari ini saya dan tiga teman seminaris bangun jam empat pagi, terdengar suara adzan sangat keras. Saya menyempatkan diri bersyukur kepada Tuhan atas nafas kehidupan baru dan indahnya pagi. Banyak orang berbondong-bondong menuju masjid di tengah dinginya pagi. Saya dan tiga teman seminaris juga datang menuju masjid bukan untuk doa, tetapi membasuh muka dan minum. Saya sempat bertanya dengan diri saya sendiri, apakah hidup rohaniku sudah saya olah dengan baik atau belum. Saya dan tiga teman seminaris berjalan menuju terminal Arjosari membeli “roti goreng” untuk sarapan pagi. Maklum anak jalanan hanya bisa membeli “roti goreng”, sambil menunggu menyingsingya matahari saya dan tiga teman seminaris menikmati "roti goreng”. Tidak terasa hari sudah cerah, saya dan tiga teman seminaris berjalan menyusuri kota Malang untuk mengais rejeki. Uang-uang rejeh hasil menjual suara saya kumpulkan sambil menikmati indahnya kota Malang. Setiap pedagang makanan dan pertokoan saya singgahi, mereka menerima dengan baik dan merespon positif. Lagu-lagu sederhana mereka nikmati sambil melakukan aktivitas-aktivitas. Tidak terasa hari sudah siang, perjalanan sudah jauh. Salah satu teman seminaris yaitu Karolus mengajak menjual suara di sebuah rumah bakso, tidak lama kemudian ibu Karolus muncul dan menyambut dengan riang. Saya dan tiga teman seminaris masuk, disitu bersih diri dan santap siang. Seusai santap siang, saya dan tiga teman seminaris menjual suara di perkampungan. Perkampungan tersebut sangat padat, disitu saya dan tiga teman seminaris mendapat hasil yang memuaskan. Karena sudah berjam-jam ngamen, saya dan tiga teman seminaris tidur si Graha Santa Malang. Terasa cukup dan badan segar kembali, saya dan tiga teman seminaris ngamen di pertokoan China dan duduk di depan Carrefour Blimbing-Malang. Saya dan tiga teman seminaris menikmati mentari sore sambil menunggu datangnya malam. Kira-kira jam tujuh malam, saya dan tiga teman seminaris menjual suara di tempat orang-orang berjualan makanan (nasi goreng, mie ayam, bakso, dll). Saya sangat terkesan ketika ada pasangan suami istri, pasutri ini menginginkan agar saya dan tiga teman seminaris menyanyikan lagu dengan durasi lama. Pasutri tersebut sangat menghargai kedatangan saya dan tiga teman seminaris. Malam ini hasilnya sangat memuaskan. Hari semakin malam, saya dan tiga teman seminaris kembali ketempat peristirahatan, di jembatan layang kota Malang. Malam ini, saya dan tiga teman seminaris tidak makan malam. Untuk menahan rasa lapar saya dan tiga teman seminaris membeli gorengan bakso. Saya tidak kenyang makan gorengan bakso, paling tidak perut sudah ada isinya. Seusai makan gorengan bakso saya membaringkan diri dan tidur. Seperti biasanya, sebelum tidur saya mohon perlindungan dan keselamatan istirahat malam ini. Saya menemukan banyak pengalaman hari ini. Saya diajak untuk berjuang, menerima kondisi dan situasi yang ada, dan mau menjalani hidup dengan setia. Ada pepatah mengatakan waktu adalah kesempatan, andai kata hari ini saya tidak menggunakan waktu dengan baik maka hari ini akan berlalu begitu saja. Melalui pengalaman hari ini pula, Tuhan mau memperlihatkan bahwa hidup itu sulit dan butuh keseriusan, kepekaan, serta kesetiaan. Oleh karena itu saya diminta berjuang dahulu dan nanti Tuhan yang akan menyempurnakan. Hari ketiga Hari ini saya dan tiga teman seminaris akan kembali menuju seminarium marianum Keuskupan Malang. Saya dan tiga teman seminaris bangun jam empat pagi, lalu datang ke masjid untuk membasuh muka dan minum. Di tengah gelapnya padi dengan hiasan lampu kendaraan bermotor, saya dan tiga teman seminaris mencari tumpangan di lampu merah. Saya dan tiga teman seminaris menunggu dua jam penuh, setelah dua jam ada orang yang menumpangi sampai pertigaan menuju Batu-Malang. Sesampainya disana dan selang beberapa menit kemudian, saya dan tiga teman seminaris mendapat tumpangan lagi sampai kabupaten Pasuruan. Sesampainya di kabupaten Pasuruan saya dan tiga teman seminaris berjalan lima koli meter menuju kota pasuruan. Ditengah perjalanan ada seorang pemuda memberikan tumpangan, sekalipun jaraknya tidak terlalu jauh tetapi sudah sangat membantu. Tidak terasa hari semakin siang dan panas. Badan saya capek dan lapar, karena pagi tadi tidak sarapan. Saya hanya bisa menahan diri dan sabar. Saya sempat berfikir untuk naik bus karena badan lemas, haus, dan lapr. Tidak berhenti demikian, Tuhan memberikan pertolongan di tengah saya dan tiga teman seminaris putus asa. Ada seorang bapak mau menuju Surabaya dan bersedia memberikan tumpangan sampai kota Pasuruan. Saya sangat lega dan bersyukur. Andai kata Tuhan tidak memberikan pertolongan, mungkin saya sudah rebah di perjalanan. Saya dan tiga teman seminaris melanjutkan perjalanan menuju terminal Pasuruan, jaraknya sangat jauh dan tidak ada satu orang pun mau memberikan tumpangan. Berulangkali saya dan tiga teman seminaris istirahat untuk melepas lelah. Sesampainya di terminal pasuruan saya dan tiga teman seminaris istirahat sejenak, ketika melanjutkan perjalanan salah seorang dari anggota kelompok yaitu Krisna tidak kuat lagi. Melihat kondisi yang semacam itu, saya dan tiga teman seminaris memutuskan untuk naik bus menuju terminal Probolinggo. Sesampainya di terminal Probolinggo, dengan sisa tenaga saya dan tiga teman seminaris berjalan menuju seminari. Pengalaman hari ini berbicara tentang komitmen. Dikala saya mengalami patah semangat, Tuhan meminta kepastian apakah saya mau lanjut atau mundur. Melanjutkan komitmen sangat sulit sedangkan mundur dari komitmen sangat mudah. Saya hari ini diminta tegas dan berjuang mencapai tujuan. Berani meninggalkan rasa patah semangat, capek, emosi, dan lapar. Ada pepatah mengatakan rasa manis timbul karena ada rasa pahit. Sudah saatnya saya berani menjalani pahitnya hidup dan menikmatinya sebagai bagian dari kehidupan. Pemaknaan Hidup adalah sebuah proses dikatakan berhasil apabila saya mampu melewati beberapa tahap, dari yang rendah sampai yang tinggi. Demikian pula untuk mencapai suatu tujuan harus melalui proses dan tidak bisa didapatkan secara instan. Selama tiga hari hidup di jalan saya diajak untuk menghilangkan budaya instan dan mempersiapkan diri secara sungguh. Saya diajak untuk menghargai proses kehidupan dan nilai perjuangan yang ada didalamnya. Refleksi II Dunia Dibagi Tiga Secara sederhana dunia dibagi tiga. Bagian atas yaitu ilahi dengan dasar kasih. Bagian tengah yaitu manusia dengan dasar cinta. Bagian bawah yaitu binatang dengan dasar nafsu. Pada dasarnya kasih itu memberi dan tidak mengharapkan balasan. Sedangkan cinta itu memberi dan mengharapkan balasan. Dan nafsu itu memberi tetapi “menuntut” balasan. Panggilan hidup saya dan dunia dibagi menjadi tiga dan mempunyai hubungan erat. Saya secara khusus dibina, digembleng, dididik, dan dipersiapkan dalam waktu yang lama agar saya menjadi “orang” yang mampu memilah dan memilih dunia atas, tengah, atau bawah. Memang terasa tidak nyaman, tetapi itu adalah dasar untuk masa depan saya. Memilih hidup bagian bawah sangat mudah dan tidak perlu diajari. Tetapi memilih hidup bagian atas butuh perjuangan, kemauan, dan niat. Hidup memanga adalah pilihan, mau baik atau buruk. Tetapi saya harus ingat bahwa Tuhan datang pada kehidupan tengah, menjadi serupa dengan manusia, agar manusia terangkat menjadi ilahi. Melihat kondisi saya saat ini, saya ada pada kehidupan tengah dan kehidupan bawah. Hal ini mau mengatakan bahwa saya masih bergumul dalam dosa. Banyak sekali tanda-tanda yang terlihat, saya sering emosi, maki, iri hati, egois, dan suka balas dendam. Tindakan ini masih saya rasakan dan saya lakukan hingga sekarang. Melihat kondisi pribadi semacam ini, saya harus berusaha untuk berubah, sekalipun sulit. Kalau saya masih bergulat dengan dunia tengah dan bawah, masa depan saya akan buram. Saya akan terus berusaha hidup ilahi, melalui doa maupun tindakan konkrit sederhana yang dapat saya lakukan untuk diri sendiri dan orang lain. Amin Refleksi III Expo Panggilan Paroki Maria Bintang Samudera Situbondo Yoh 6:60-69 (S. Petrus Chanel, S.Louis Mariae Grignion de Monfort) “Mulai dari waktu itu banyak murid-muridnya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti dia.” Yoh 10:11-18 (Hm. Panggilan Sedunia) “Akulah gembala yang baik.” Hari ini Sabtu, 28 April 2012 tepatnya Pkl 09.00 WIB saya beserta rombongan berangkat mengikutu expo panggilan di paroki Situbondo. Tepat Pkl 12.00 WIB saya dan rombongan tiba di Situbondo. Saya dan rombongan menyalami pastor paroki dan panitia expo panggilan. Tanpa menunggu lama, saya dan rombongan meninjau lokasi stan (pameran) dan segera mengerjakanya. Setelah selesai saya beserta rombongan istirahat, sambil menunggu bapak dan ibu semang. Tepat Pkl 16.30 WIB, saya dijemput seorang ibu. Kebetilan saya satu kelompok dengan dua frater (SVD dan BHK), kami tidak dihantar kerumah ibu, tetapi mampir dan makan bakso dahulu di sebuah rumah bakso. Setelah kenyang kami pulang. Kami di hantar ke sebuah mebel besar, ternyata saya dan dua frater akan bermalam di rumah mebel ini. Sesampainya di tempat saya bergegas bersih diri, karena nanti Pkl 18.00 WIB ada doa dan sharing panggilan. Rupanya bapak dan ibu semang kami adalah ketua lingkungan St.Cicilia. Saya sangat heran ibu ini begitu lancar berbicara dan berdoa. Adapun susunan acara doa dan sharing panggilan. Pertama doa pembuka, kedua pembacaan kitab suci, ketiga sharing panggilan, keempat tanya jawab, dan kelima doa penutup. Saya mensharingkan sejarah saya masuk seminari, tujuan masuk seminari, suka duka setelah saya masuk seminari, dan pemaknaan akan jawaban panggilan saya. Saya memaknai bahwa panggilan bersifat “plural”. Artinya Tuhan memanggil manusia dengan beragam cara dan profesi. Dan menempatkan manusia sesuai dengan porsinya. Seusai doa dan sharing panggilan. Saya, tiga frater, dan bapak-ibu semang, jalan-jalan menuju tanjung tembaga Situbondo. Kali ini bertambah satu frater, karena frater (O.Carm) yang satu ini baru datang. Dan bapak semang yang baru pulang kerja. Malam begitu indah diwarnai dengan bintang-bintang yang gemerlapan dan banyak orang (muda sampai tua ada) memadati tanjung tembaga. Terasa capek dan hari sudah malam, kami pulang untuk istirahat. Sesampainya dirumah bapak-ibu semang, saya bergegas ganti pakian, membaringkan diri, dan tidur. Hari ini Minggu, 29 April 2012 saya bangun Pkl 05.00 WIB. Seusai mandi saya sarapan dengan para frater. Selesai sarapan tepat Pkl 06.00 WIB saya, tiga frater, dan bapak-ibu semang berangkat menuju Gereja. Perayaan ekaristi dimulai Pkl 07.00 WIB dan selesai Pkl 09.00 WIB. Tepat Pkl 09.00 WIB acara pameran (expo) dimulai di aula vila nova Situbondo. Banyak orang mengunjungi stan-stan. Saya sampai bingung, banyak orang berlalu-lalang. Ditambah lagi adik-adik SD dan SMP meminta tanda tangan. Saya dan teman-teman juga memeriahkan acara dengan berbagai macam atraksi dan permainan. Tepat Pkl 12.00 WIB acara expo panggilan selesai. Dan dilanjutkan dengan makan siang bersama. Sebelum mengikuti makan siang, saya dan rombongan meringkas stan yang telah dibuat. Setelah semua perlengkapan dan peralatan di masukkan mobil semua frater, suster, dan seminaris makan siang bersama. Berbagai cerita dengan beberapa frater, dirasa sudah cukup dan beres, kami pamitan dengan pastor paroki dan umat yang ada di sekitar Gereja. Saya baru pertama kali mengunjungi pantai pasir putih Situbondo. Saya melihat banyak wanita cantik. Mereka semua mengalihkan perhatian saya. Wanita berbaju dan bercelana ketat menggoncang iman saya. Rasanya saya ingin mendekat. Inilah kenormalan seorang laki-laki ketika melihat wanita. Setelah puas menikmati panorama pasir putih, saya beserta rombongan pulang. Saya beserta rombongan tiba di seminari Pkl 17.00 WIB Kurang lebih dua hari satu malam mengikuti expo panggilan, hati sya semakin tersentuh untuk berjalan dan tidak keluar dari lingkaran panggilan. Banyak makna yang saya temukan melalui expo panggilan ini. Pertama, saya harus niat menanggapi panggilan Tuhan karena Gereja membutuhkan banyak tenaga. Kedua, panggilan adalah proses yang amat panjang dan pasti akan ada tantangan. Ketiga, menanggapi panggilan tidak boleh asal asalan dan harus sesuai dengan tujuanya. Keempat, menanamkan semangat yang niat dalam diri saya. Semoga melalui expo panggilan ini, iman dan panggilan saya saya semakin kuat dan diteguhkan. Amin Refleksi IV Doa Dan Senyum Doa adalah sarana komunikasi antara Allah dan manusia. Tujuan dari doa adalah mengikat hubungan antara Allah dan manusia, memenuhi kebutuhan rohani, dan sarana untuk melepas segala persoalan hidup. Dua kalimat tersebut muncul dari pemahaman saya. Melalui refleksi ini saya hendak menggali lagi kekuatan dan keseriusan saya berdoa selama ini. Dengan harapan saya mampu melihat realita yang ada dalam diri saya. Akhir-akhir ini kualitas doa saya turun drastis, hal ini sangat tampak jelas. Saya mulai enggan datang ke kapel sendirian untuk doa pribadi dengan alasan capek dan sebagainya. Saya sering tidak mendoakan orang tua, sanak-saudari, guru, karyawan-karyawati, formator, rekan-rekan seminaris, dan semua saudaraku yang sudah meninggal, dengan alasan yang serupa. Saya sering rindu dengan Tuhan, namun rasa rindu tersebut tidak saya maknai secara positif. Tetapi saya melepaskan dengan mencari kepuasan melalui doa. Saya kurang menghargai doa-doa yang ada di seminari, saya sering melamun, terkantuk kantuk, dan tertidur. Memang mencapai doa pada titik sempurna tidak mudah. Banyak sekali keinginan daging, “lebih menyenangkan”. Kalau dituruti, keinginan daging tidak ada habisnya. Sebagai seorang seminaris sudah saatnya saya intropeksi diri, peka akan kebutuhan rohani. Karena masa depan terukur atau tercermin sejak sekarang. Apabila saya sekarang malas berdoa, bagaimana mungkin saya kelak bisa mengajak orang lain untuk berdoa. Secara sadar atau tidak sadar doa sangat luar biasa. Salah satunya bisa membuat hati, pikiran, dan hidup terang. Dan yang paling istimewa bisa membuat orang mudah tersenyum. Melalui senyum hidup menjadi lebih bergairah, ceria. Semangat dan berpikiran positif. Saya bisa menempuh pendidikan di seminari marianum juga melalui doa. Banyak orang yang terketuk hatinya, untuk menopang dan membantu biaya pendidikan dan hidup saya di seminari ini. Semoga melalui refleksi ini, saya mau berubah. Lebih semangat lagi untuk berdoa, lebih semangat lagi memenuhi kebutuhan rohani, lebih semangat lagi memaknai tujuan dari doa itu sendiri. Amin Refleksi V Hidup Bijak Dalam komunitas Seminari Hidup bijak dalam komunitas seminari adalah harapan dari setiap seminaris. Tak seorangpun dapat hidup atau melewatkan harinya tanpa satu kebijakan . Pengalaman adalah guru yang terbaik dan hal ini menjadi pandangan bagi para seminaris. Bila kita melihat dengan sungguh pengalaman muncul sejak kita lahir dan berkembang ketika kita hidup bersama komunitas tempat kita dibesarkan. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki oleh seminaris maka peluang untuk menjalani hidup bijak semakin banyak pula. Tentunya seminaris yang hidup bijak didorong oleh pengalaman hidup dan kesanggupan membangun relasi serta sosialisasi dalam hidup komunitas seminari maupun luar seminari. Seminaris yang tidak dapat hidup bijak karena bingung akan arti dan tujuan dari hidup bijak. Akibatnya seminaris kurang percaya diri dalam menjalani hidup bijak di komunitas seminari. Bagi seminaris mencapai hidup bijak di komunitas seminari tidak mudah. Seminaris harus melalui beberapa proses yang ada. Proses yang harus dilalui seminaris yaitu: Pertama seminaris harus memiliki rasa takut akan Tuhan. Sebab bagi seminaris Tuhan adalah pembuat rangkaian skenario kehidupan. Tuhan yang memanggil seminaris, Tuhan yang memberi cobaan seminaris, dan Tuhan pula yang mengarahkan serta menolong selinaris dalam kesesakan. Kedua seminaris harus menjauhi pergaulan yang negatif. Seminaris menjuhi pergaulan negatif bukan berarti menaruh rasa benci kepada orang berbuat negatif, namun berwawas diri agar tidak ikut arus negatif. Ketiga seminaris harus mendengarkan ajaran orang bijak. Sikap seminaris mau mendengarkan dan merenungkan ajaran orang bijak sangat berpengaruh pada diri seminaris untuk menjadi bijak. Karena orang bijak memiliki dasar pengalaman hidup yang kuat yang dapat kita gunakan sebagai acuan untuk berkembang. Keempat seminaris harus mengenali Tuhan di komunitas seminari. Seminaris dapat mengenali pribadi Tuhan melalui kehadiran yang anggota komunitas seminari, baik mereka yang berperan sebagai formandi dan mereka yang menjadi rekan seperjuangan. Kelima seminaris harus berjaga akan situasi dan kondisi yang ada di komunitas seminari. Seminaris harus siap dengan berbagai situasi yang sedang dan yang akan dihadapi. Seminaris akan jatuh dalam kubangan bila tidak siap menghadapi situasi yang ada. Keenam seminaris tidak boleh iri hati dengan anggota komunitas seminari yang bertindak negatif. Seminaris pasti akan menemukan godaan di komunitas seminari khususnya berkaitan dengan cara hidup. Seorang seminaris mempunyai pandangan demikian, mereka yang hidup tidak disiplin masih dipertahankan pihak seminari mengapa saya repot-repot menata diri untuk disiplin. Bisa saja pandangan ini mengacaukan niat seminaris untuk hidup bijak di komunitas seminari. Ketujuh seminaris harus mencintai kebijaksanaan. Analoginya apabila seminaris bisa hidup bijak maka ia menanamkan rasa cinta akan hidup bijak. Bagi seminaris cinta adalah akar dari kebiasaan yang mendorong seminaris hidup bijaksana di komunitas seminari. Kedelapan seminaris harus berjalan lurus dan tidak menolehkan diri ke belakang. Artinya seminaris harus konsisten dengan pilihan untuk hidup bijak di seminari. Kesembilan seminaris harus menjaga hati agar berfungsi dengan baik. Bagi seminaris hati berperan sebagai pemutus akhir atas tindakan yang dilakukan. Keputusan akhir yang diterima seminaris berkaitan dengan baik atau buruknya tindakan seminaris. Kesepuluh seminaris harus setia dalam menjalani hidup bijak di seminari. Refleksi VI Kategori Dan Pandangan Hidup Seminaris Melihat realita hidup seminari ada empat kategori seminaris. Seminaris yang potensial (mampu merealisasikan potensi dan mau menjadi seorang imam), seminaris yang potensial (mampu merealisasikan potensi dan tidak menjadi seorang imam), seminaris yang tidak potensial (tidak mampu merealisasikan potensi dan mau menjadi seorang imam), seminaris tidak potensial (tidak mampu merealisasikan potensi dan tidak mau menjadi seorang imam). Awal saya melihat kategori-kategori tersebut sangat menakutkan. Namun, ketika saya mendapatkan penjelasan dari formator tentang kategori-kategori tersebut dan merenungkanya, cara pandang saya menjadi berubah. Berapapun modal awal atau semangat awal yang saya miliki bukanlah suatu masalah. Tetapi yang menjadi sorotan adalah proses dari hari ke hari. Kategori tersebut menjadi tolak ukur pribadi saya. Bahwa saya seminaris yang tidak potensial (tidak mampu merealisasikan potensi dan mau menjadi seorang imam). Saat ini saya melihat bahwa kategori yang saya miliki bukan sebuah kesimpulan akhir, tetapi masih terus berproses (berjalan). Berangkat dari kategori tersebut saya menempatkan tiga pilar (SANCTITAS, SANITAS, ET SCIENTIA) sebagai pandangan hidup. Melalui tiga pilar itulah potensi dalam diri saya mulai bertumbuh kembang. Sanctitas itulah pilar pertama dalam hidup saya. Di sinilah saya mulai belajar menerima dan mengembangkan setiap karunia Allah yang ada dalam diri saya (refleksi, doa, bacaan rohani, misa, dll). “aku tidak menjadi pemilik melainkan menjadi penerima”. Dengan demikian saya membiarkan kerajaan Allah meraja dalam hidup saya. Dalam doa saya dituntut hidup sederhana, bersahaja, dan senantiasa mencari Tuhan dan berusaha. Semuanya itu dapat saya capai bila saya mau mengikuti sebuah proses dan berkehendak untuk maju. Hingga saat ini saya masih berproses dan bertumbuh kembang dalam sanctitas. Sanitas itulah pilar kedua dalam hidup saya. Disinilah saya mulai berfikir, bahwa saya tidak cukup sehat pada tataran fisik melainkan juga psikologis, dan secara seksual. Dalam kehidupan sehari-hari, saya terus berupaya menjaga kesehatan pribadi (secara fisik). Belajar menerima diri apa adanya (namun tetap optimis “saya bisa”), menggunakan kebebasan batin secara positif (secara psikologis). Terus menjalin hubungan dengan lawan jenis secara positif (secara seksual). Melalui refleksi ini saya mau berterima kasih kepada seminari, yang terus menerus memberi makanan dan minuman yang sangat enak. Bila dibandingkan awal masuk seminari badan atau jasmani saya terus berkembang. Semoga apa yang saya terima membangkitkan semangat hidup saya. Scientia itulah pilar ketiga dalam hidup saya. Terus terang selama menempuh pendidikan seminari, secara intelektual saya sangat berkembang dibandingkan dengan di rumah. Awal masuk seminari saya “keteteran” melihat metode pengajaran dan pembelajaran yang sangat sulit. Namun berkat ketekunan dan bimbingan dari formator saya bisa menjalani proses pendidikan. Bila dilihat hasilnya cukup baik, namun saya sadar itu semua berkat campur tangan Tuhan Allah. Perkembangan intelektual yang paling menonjol yaitu saya bisa berbicara di depan umum (MC, membawakan profil seminari regio Jawa-Bali, promosi panggilan, dan berbagai macam acara yang diadakan di seminari), itu juga saya peroleh dari seminari. Sungguh seminari sangat berjasa atas perkembangan pribadi saya. Disinilah saya melihat proses panggilan. Awalnya potensi saya sedikit namun berkat bimbingan dari formator, usaha pribadi, dan karya Tuhan potensi saya berkembang hingga saat ini. Saya akan menikmati dan menjalani proses panggilan, sekarang dan selamanya. Amin Refleksi VII Lima Bejana sebagai dasar Menanggapi Panggilan Bejana yang pertama adalah kekuatan dasar merupakan dasar yang harus saya tanamkan dalam hidup panggilan. Setelah menempuh masa formatio di seminarium marianum keuskupan Malang, saya menemukan bahwa kekuatan dasar terbagi menjadi lima. Antara lain; Intelektual (IQ), Emotional (EQ), Sosial (SSQ), Spriritual (SQ), Adversity (AQ), dan Creativity (CQ). Bejana yang kedua adalah kekuatan peranan merupakan dasar kedua yang harus saya tanamkan dalam hidup panggilan. Kekuatan peranan terdiri dari lima kekuatan. Kekuatan memimpin (rahmat dari Allah), kekuatan penanggung jawab, kekuatan penggerak, kekuatan peserta aktif, kekuatan pengikut (dengan catatan harus punya prinsip). Bejana yang ketiga adalah kekuatan tipe yang harus saya tanamkan dalam hidup panggilan. Kekuatan panggilan terbagi menjadi tiga bagian. Allpa (melankolis, sanguinis, dan plegmatis), Ecegran, dan Jendela. Bejana keempat adalah kekuatan pengaruh (media creativity) merupakan dasar ketiga yang harus saya tanamkan dalam hidup panggilan. kekuatan pengaruh terbagi menjadi tujuh bagian penting. Spiritual-reflektif, Seni-budaya, Akademis, Teknisi, Sosial-ekonomi, Sosial-ekologi, dan Sosial-masyarakat. Bejana kelima adalah kekuatan berubah merupakan dasar ketiga yang harus saya tanamkan dalam hidup panggilan. Kekuatan berubah terbagi menjadi empat bagian penting. Mau berubah, Diubah, Mengubah, dan Berubah bersama. Dari lima bejana di atas saya mau mengatakan bahwa panggilan itu penuh isi. Baik dari dalam maupun dari luar. Oleh karena itu, sebagai seorang seminaris saya harus berjuang untuk meraih point-point di atas. Seraya memohon, agar roh kudus menyertai setiap perjuangan yang akan saya lakukan. Refleksi VIII Live In Paroki Curahjati- Banyuwangi Selatan Hari pertama Selasa, 3 April 2012 Pekan suci; Yes 49:1-16; Mzm 71; Yoh 13:21-33,36-38 Hadir Sebagai Pengusik Hari ini adalah hari yang spesial bagi saya. Karena acara live in di paroki-paroki keuskupan Malang resmi di buka. Live in adalah agenda tahunan seminarium marianum keuskupan Malang, untuk membantu para seminaris melihat dan merasakan kehidupan menggereja. Saya bersama dua saudara berangkat dari Probolinggo menuju paroki Curahjati-Banyuwangi Selatan pkl 08.30 WIB dan sampai pkl 16.15 WIB. Selama perjalanan berulangkali saya mengeluh, karena perjalanan amat jauh dan memakan waktu yang lama. Saya terus mencoba untuk bersabar, puji Tuhan bermodalkan kesabaran saya tiba di paroki Curahjati-Banyuwangi Selatan dengan selamat. Setelah turun dari mobil, saya merasa asing dengan saudara-saudari di paroki Curahjati-Banyuwangi Selatan. Maklum, saya baru pertama kali datang di tempat ini. Saya sangat lapar karena satu hari hanya makan satu kali. Untung ada saudari yang berbaik hati membelikan makanan. Seusai makan saya bergegas bersih diri. Terasa asing dengan daerah ini, saya dan kedua saudara jalan-jalan di arah timur Gereja. Saya sempat kaget, ada orang yang memanggil saya sertadua saudara dan mengajak singgah. Rupanya di kediaman orang yang memanggil saya dan kedua saudara ada sekelompok pemuda (IPI) bercengkrama santai. Kami bergabung dan berbincang-bincang. Saya sangat senang mendengarkan pengalaman saudara-saudari IPI dan bapak ibu yang hadir di kediaman tersebut. Saya juga mendapat kesempatan untuk sharing (mengungkapkan isi hati) dan membagikan pengetahuan. Hal yang saya sampaikan saat itu adalah pengalaman belajar. Bahwa belajar adalah sebuah proses yang dimulai dari rahim ibu (kandungan) sampai akhir hayat, dan dikatakan berhasil apabila mengalami perubahan dari tidak bisa menjadi bisa. Itulah pengalaman reflektif yang dapat saya bagikan. Saya juga mendapat masukan bahwa saya tidak boleh cepat puas dengan hasil sekarang dan harus berusaha lebih. Saya merasakan ikatan persaudaraan yang kuat sekalipun baru bertemu. Seusai berbincang-bincang dengan saudara-saudari IPI dan bapak ibu wilayah St.Paulus, saya dan kedua saudara pulang ke Gereja. Saya dan kedua saudara segera berdoa dan menyantap hidangan yang ada. Setelah kenyang, saya duduk santai sambil membaca buku. Hari sudah malam saya menyempatkan diri untuk hening sejenak, mengucap syukur atas kasih Tuhan hari ini. Terasa mata dan badan saya semakin berat saya membaringkan diri dan tidur. Pengalaman hari ini sangat mengesankan. Saya berhasil mengusik hati, pikiran dan perasaan saya untuk mencintai, berbuat adil, solid, jujur dengan orang lain. Memang tidak mudah dan membutuhkan proses. Melalui penginjil Yohanes diceritakan Yesus mengusik orang sakit dan lumpuh yang mengalami penderitaan yang panjang. Hasilnya sangat jelas orang yang sakit dan lumpuh mendapat pertolongan. Sebagai murid Yesus saya harus meneladan apa yang dilakukannya. Seperti yang saya katakan tadi, tidak mudah dan membutuhkan proses. Semoga pengalaman hari ini, menyadarkan saya akan pentingnya kehadiran Tuhan atas diri saya dan kesungguhan diri saya untuk menjadi pengusik (pembawa cinta, keadilan, solider, dan kejujuran) bagi orang lain. Amin. Hari kedua Rabu, 4 April 2012 Pekan suci; Yes 50:4-9a; Mzm 69; Mat 26:14-25 Memanusiakan Manusia Hari ini saya tidak mengikuti ibadat pagi, karena bangun terlalu siang, dan belum mengetahui agenda paroki. Tepat Pkl 05.30 WIB saya mandi dan seusai mandi sarapan pagi. Kegiatan hari ini belum begitu jelas, saya menanyakan kepada romo paroki berkaitan dengan kegiatan hari ini. Romo paroki menyarankan agar saya dan kedua saudara jalan-jalan di sekitar Gereja. Saya dan kedua saudara berjalan menuju arah barat. Saya dan kedua saudara bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang bapak yang sedang bekerja membuat gamping (kapur). Banyak hal yang dibagikan untuk saya berkaitan dengan proses pembuatan gamping. Terasa sudah siang saya dan kedua saudara pulang ke Gereja dan istirahat. Tidak lama kemudian salah seorang ibu asrama Clara Fey Curahjati-Banyuwangi Selatan memanggil saya dan kedua saudara untuk makan siang. Saya dan kedua saudara segera bergegas makan siang, seusai makan siang saya istirahat. Sore harinya saya membantu melipat kain di sakristi paroki bersama suster, remaka, dan ibu-ibu. Setelah selesai romo paroki datang mengajak saya dan kedua saudara menuju stasi Muncar. Saya sangat kerasan di stasi muncar, karena umatnya solider, ramah, dan terbuka. Terasa lama didalam Gereja, saya diajak Br. Marco menuju halaman Gereja menanti romo paroki yang sedang melatih misdinar. Tepat Pkl 22.30 WIB kami meninggalkan stasi Muncar. Saya amat risih dengan badan saya sendiri, karena saya belum mandi. Sesampainya di paroki saya segera mandi dan seusai mandi saya segera makan malam. Malam semakin larut, saya mengambil majalah dan saya baca. Karena badan terasa lelah dan capek, saya meninggalkan ruang rekreasi dan beranjak tidur. Saya sangat bangga hari ini, bisa berelasi dengan baik. Saya live in di paroki Curahjati-Banyuwangi Selatan menemukan keistimewaa. Keistimewaan yang saya maksud ialah solidaritas untuk memanusiakan manusia. Hal inilah yang membuat saya kerasan dan keterbukaan di paroki menumbuhkan semangat dalam diri saya yang amat dalam. Hari ini penginjil Matius mengisahkan Yudas Iskariot menjual Yesus. Sungguh tindakan ini sangat tidak manusiawi. Yudas Iskariot menutup mata, hati, dan pikiran. Sesungguhnya Yesus tidak bersalah, namun harus menanggung sengsara akibat dosa manusia (termasuk Yudas Iskariot). Berangkat dari penginjil Matius saya diajak untuk memprioritaskan segala sesuatu (yang paling penting). Artinya saat mengambil tindakan harus benar-benar sesuai dengan tujuan yang baik. Selain itu saya juga diarahkan untuk menghargai sesama. Memang zaman sekarang menghargai orang lain sangatlah sulit dan membutuhkan perjuangan. Semoga saya mampu menjadi generasi muda yang mampu dan mau memanusiakan manusia. Amin Hari ketiga Kamis, 5 April 2012 Kel 12:1-8,11-14; Mzm 166:12-13,15-16bc,17-18; 1kor 11:23-26; Yoh 13:1-15 Panggilan Menjadi Jongos Atau Gedibal Hari ini tidak ada perayaan ekaristi pagi. Karena hari ini diadakan perayaan ekaristi pada sore hari (perayaan kamis putih). Saya bangun pagi lalu mandi dan saya lanjutkan dengan membuat refleksi harian. Suasana masih pagi dan segar. Sambil menikmati pancaran mentari, saya menggoreskan pena di atas kertas yang masih kosong, sebagai ungkapan hati saya. Tepat Pkl 07.00 WIB saya sarapan, aduh kali ini saya sarapan hingga kenyang. Saya dan kedua sauadara seusai sarapan pagi, langsung menuju kamar mandi dan WC Gereja. Ada empat kamar mandi yang masih bisa digunakan, namun kondisinya sangat memprihatinkan. Hati saya dan kedua saudara tergerak untuk membersihkan kamar dandi dan WC Gereja. Saya sangat heran, kondisi kamar mandi dan WC Gereja sangat kotor. Dengan penuh semangat, saya membersihkan kamar mandi hingga maksimal. Setelah berjam-jam bekerja, puji Tuhan saya dan kedua saudara dapat membersihkan kamar mandi dan WC Gereja dengan baik. Tidak hanya membersihkan kamar mandi, saya dan kedua saudara menata buku-buku di ruang sekertariat. Terlihat sudah rapi, saya dan kedua saudara di panggil suster untuk “mamiri”. Selesai “mamiri” kedua saudara istirahat, sedangkan saya menyelesaikan menata buku-buku di ruang sekertariat yang perlu dibenahi lagi. Tidak terasa hari sudah siang, saya segera makan siang. Seusai makan siang saya harus menyetrika baju dan celana, karena nanti sore ada perayaan kamis putih. Selesai menyetrika baju dan celana, saya langsung istirahat karena badan saya terasa capek. Saya terbangun Pkl 16.30 WIB, saya langsung bergegas mandi. Tepat Pkl 17.00 WIB saya berangkat bersama romo, bruder dan suster misa di wilayah barat (stasi Selorejo). Perayaan ekaristi sangat meriah, hikmat, dan lancar. Selesai perayaan ekaristi kami pulang dan makan malam bersama di susteran. Saya mengantuk karena makan terlalu kenyang. Selesai makan saya istirahat, tepat Pkl 22.30 WIB saya ikut tuguran. Selama tuguran saya mengungkapkan segenap isi hati dan berharap Tuhan mengabulkanya. Selesai tuguran saya langsung membaringkan diri dan tidur. Saya hari ini mengerjakan pekerjaan yang tidak disenangi banyak orang (membersihkan kamar mandi dan WC paroki). Memang kalau dikaitkan dengan panggilan tidak ada kaitanya sama sekali. Namun saya menyadari bahwa melalui pekerjaan sederhana ini saya dibimbing untuk rendah hati. Saya merasa jijik, tetapi saya sudah memilih dan menerima konsekuensinya. Kalau menjalani sesuatu yang enak tidak usah dipikirkan panjang lebar, tetapi kalau menjalani sesuatu yang tidak enak harus dijalankan dengan sungguh dan dipikirkan lebih dalam lagi. Sudah selayaknya saya belajar menjadi JONGOS ATAU GEDIBAL, karena tujuan akhir hidup saya menjadi pelayan. Hari ini Yesus meneladankan sikap rendah hati. Yesus membasuh dan mencium kaki murid-muridnya. Menandakan bahwa Yesus merindukan umat manusia datang dan meneladan tindakanya. Semoga melalui pengalaman dan sabda Tuhan hari ini, saya semakin sadar serta mau bersikap rendah hati sekarang dan selamanya. Amin Hari keempat Jumat, 6 April 2012 Yes 52:13-53:12; Mzm 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr 4:14-16; 5:7-9; Yoh 8:1-19:42 Kesetiaan Dan ketaatan Hari ini saya berusaha menahan rasa lapar. Artinya pagi ini saya tidak sarapan. Tepat Pkl 07.00 WIB saya mengikuti visualisasi jalan salib. Adegan demi adekan saya nikmati, yang paling mengerikan bagi saya saat Yesus ditikam lambungnya. Peristiwa penyaliban sangatlah kejam. Seusai jalan salib saya merenung sendirian sambil membuat refleksi. Hari ini saya lebih banyak diam dan tidak beraktivitas. Hari sudah siang, saya segera istirahat karena Pkl 14.00 WIB saya harus berangkat untuk mengikut ibadat di stasi Muncar. Saya tidak konsentrasi selama mengikuti ibadat. Pikiran saya melayang kemana-mana, karena ibadat sangat lama. Sesampainya di paroki saya langsung makan, karena seharian saya menahan rasa lapar. Setelah makan saya rekreasi panjang dengan bruder dan para romo. Terasa mata sudah berat saya meninggalkan ruang rekreasi dan tidur. Saya berjuang keras untuk menahan rasa lapar. Sekalipun kepala saya pusing, saya tetap berusaha menahanya. Karena hari ini adalah hari wafatnya Yesus Kristus, saya terus berjuang dan taat untuk itu. Memang banyak godaan yang saya temui. Baik dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Syukur kepada Allah hari ini saya dapat melewati dengan baik. Penginjil Yohanes hari ini menggambarkan awal penderitaan Yesus hingga akhir. Sungguh yang ada hanya perjuangan, kesetiaan, dan ketaatan. Kalau Yesus tidak berjuang, tidak setia dan tidak taat akan salib yang dipikulnya, saya tidak bisa hidup hingga saat ini. Sungguh saya amat bersyukur, karena Yesus mengorbankan dirinya demi menghapus dosa dan pelanggaran yang telah saya lakukan. Sudah saatnya saya sadar akan peranan Yesus dalam diri saya. Ini berarti bahwa saya harus benar-benar menyiapkan diri untuk kedepan. Saya harus meneladan kesetiaan dan ketaatan Yesus. Bukan hanya hari ini, tetapi sekarang dan selama-lamanya. Semoga detik-detik menjelang perayaan paskah ini, saya mampu berjuang menyiapkan diri demi kemuliaan Allah. Amin Hari kelima Sabtu, 7 April 2012 Kej 1:1-2:2; Mzm 104:1-2a,5-6,10,12,13-14,24,35c; Mrk 16:1-8 Menjadi Cahaya Bagi Sesama Hari ini saya bangun pagi-pagi benar. Saya langsung mandi, setelah mandi saya lanjutkan dengan sarapan. Saya sudah mempunyai rencana untuk membersihkan sanggar musik. Selesai sarapan saya dan kedua saudara bergegas mencari alat-alat untuk membersihkan sanggar. Sanggar sangat kotor dan membutuhkan kesabaran untuk membersihkanya. Tidak hanya membersihkan sanggar, saya harus menata alat musik hingga rapi. Sanggar sudah beres, kini saya beranjak membersihkan pendopo pasturan bagian dalam dan lorong di pasturan. Terasa badan capek saya istirahat melepas lelah. Tidak terasa hari sudah siang, saya menuju PA untuk makan siang. Aduh hari ini saya makan sampai kenyang. Selesai makan siang saya membantu pak Ji membersihkan Gereja. Saya hanya membantu sebentar, karena pekerjaan pak Ji sudah hampir selesai. Selesai membantu pak Ji, saya pergi ke PA lagi untuk setrika baju dan celana. Selesai setrika baju dan celana, saya segera mandi. Karena misa malam paskah akan segera dimulai. Saya mengikuti misa malam paskah dengan baik, sekalipun perayaanya sangat panjang. Seusai perayaan ekaristi ada seorang wanita mendatangi saya. Ternya dia adalah mahasiswa IPI, dia satu paroki dengan saya. Agenda malam hari ini sangat santai. Makan malam dan dilanjutkan dengan rekreasi panjang. Menjadi cahaya bagi sesama tidak mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Hari ini saya mencoba melalui tindakan yang sederhana, memebersihkan dan menata sanggar, lorong dan pendopo. Inilah tujuan saya live in. tidak hanya berkutat dengan Gereja saja, tetapi berani mengembangkan hingga ke bagian yang amat kecil. Bagi saya pekerjaan apapun bukanlah suatu masalah, tetapi yang terpenting adalah bagaimana motivasi dan cara saya mengerjakan pekerjaan ini. Perayaan malam paskah mengenakan simbol lilin yang menyala dengan terang. Mau mengatakan kepada saya, bahwa menjadi terang bagi sesama sangatlah penting. Karena kedatangan saya sebagai citra Allah, salah satu tugasnya adalah menjadi terang bagi sesama. Hari ini saya melakukan tindakan-tindakan yang sederhana. memang apabila dibandingkan dengan nyala lilin paskah, tindakan saya belum sebanding. Semoga tindakan saya yang amat sederhana ini, menjadi dasar untuk berkembang menyongsong masa depan. Saya juga berharap, Tuhan menaungi dan membimbing saya. Akhirnya saya serahkan segenap pengalaman dan refleksi ini ke hadirat Tuhan yang maha kasih dan penyayang. Amin Hari keenam Kis 10:34a,37-43; Mzm 118:1-2, 16ab-17,22-23; Kol 3:1-4; Yoh 20:1-9 Minggu, 8 April 2012 Berharap Hari ini saya berangkat pagi-pagi untuk mengikuti perayaan ekaristi di stasi Temu Rejo. Yang memimpin perayaan ekaristi di stasi Temu Rejo adalah romo Agi. Stasi Temu Rejo sangat kecil. Seusai misa saya dan rombongan dari paroki berkunjung ke rumah romo Heri. Di sana kami berbincang-bincang hingga siang. Hari sudah siang kami segera pulang. Sesampainya di pasturan, saya segera makan. Karena pagi tadi belum sarapan. Selang beberapa menit setelah istirahat, romo paroki mengajak saya dan kedua saudara berkunjung ke rumah umat. Saya sangat senang karena di sana di suruh makan lagi. Tidak hanya makan saya juga mendapat tugas menangkap ikan gurami. Tidak terasa hari sudah sore. Kami pulang dalam kondisi kenyang. Sesampainya di pasturan saya memikirkan keluarga. Karena selama ini saya belum telfon dan mengabarkan kondisi keluarga. Saya memutuskan pergi ke warnet untuk mengabarkan kondisi keluarga dan mengucapkan relamat hari raya paskah. Saya memutuskan pergi ke warnet mengirim email untuk kakak saya. Seusai mengirim email saya segera pulang untuk istirahat. Sore hari hingga malam saya bersantai ria bersama para romo. Saya sangat rindu dengan deangan keluarga dan ingin bertemu. Hal ini terekspresi sikap saya yang nekat pergi ke warnet menyampaikan selamat hari raya paskah untuk keluarga melalui email. Semoga harapan dan rasa rindu dengan keluarga mengenang di hati saya. Amin Refleksi IX Melihat Dan Menjalani Resiko Secara Global “Hidup adalah film yang terbaik.” Itulah cara pandang saya sebelum masuk seminari sampai saat ini. Untuk mengisi kehidupan tersebut saya membuat keputusan, “menitih panggilan”. Banyak tujuan yang ingin saya realisasikan di seminari. Tujuan tersebut adalah ingin mengabdi Tuhan seumur hidup, ingin membantu orang yang menderita, ingin menjadi misionaris, dan ingin membantu mengembangkan kerajaan Allah. Secara garis besar, “ingin menjadi rekan kerja Yesus dengan cara menjadi imam masa depan”. Ternyata dalam realita tidak semudah dengan apa yang saya harapkan dan saya pikirkan. Banyak resiko, bahkan “saya mengalami krisis untuk mengatakan YA pada panggilan”. Kristus datang ketika saya mengalami konflik (dengan diri sendiri, angkatan, komunitas, dan formator), tidak disiplin (nakal, tidak memanfaatkan waktu secara positif), rindu dengan orang tua, kehidupan rohani sangat lemah (doa pagi, siang, malam, misa, bacaan rohani, adorasi, lectio devina, rosario, legio mariae, dll), keinginan hidup dalam kemewahan dan banyaknya tugas atau tanggung jawab yang harus saya jalani. Pengalaman-pengalaman ini membuka mata, hati, dan pikiran saya, bahwa semakin banyak keputusan dan harapan, maka semakin banyak pula resiko yang menyambut saya. Di balik resiko yang telah saya terima, banyak sisi positif yang saya dapatkan. Secara personal saya berkembang dalam intelektual, kreativitas, hidup rohani, dan disiplin diri. Itulah sisi positif yang benar-benar saya peroleh. Melalui refleksi ini saya menjadi sadar, dalam menitih panggilan banyak resiko yang harus saya jalani dengan tujuan mendewasakan pribadi saya. Selain itu menitih atau menjalani panggilan adalah sebuah “proses” yang terus berkelanjutan. Dalam proses itulah saya diminta selalu siap (berjaga-jaga). Ketika menuliskan refleksi ini saya teringat buku dengan judul: “si cacing dan kotoran kesayangan”. Buku tersebut mengisahkan seorang biksu yang ingin membangun wihara. Namun dia tidak punya uang untuk membayar tukang yang akan membangun wihara. Di saat seperti itu dia memberanikan diri membangun wihara tanpa harus mendatangkan seorang tukang. Dia mulai belajar menyusun bata, berulang kali dia gagal bahkan dia putus asa. Setelah melewati berbagai proses, pada hari kedua dia berhasil menyusun banyak batu bata dengan kuat. Pada hari ketiga ia meneruskan kembali pekerjaanya, namun ia melihat satu batu bata terpasang sangat jelek sekali. Dia tidak mungkin membongkar batu bata yang telah ia susun, dan memutuskan melajutkan hingga selesai. Sebenarnya dia sangat kecewa dengan hasil kerjanya, karena ada satu batu bata terpasang jelek. Pada suatu saat ada orang asing datang untuk melihat wihara, dan orang asing itu berkomentar, “bagus sekali bangunan wihara yang baru itu”. Dan biksu yang membangun wihara tersebut kaget akan pujian yang ia terima. Cerita ini memberi inspirasi yang sangat mendalam bagi saya, untuk menitih atau menjalani panggilan, yaitu saya tidak boleh melihat resiko yang saya hadapi saat ini hanya pada suatu titik, melainkan melihatnya secara keseluruhan. Dengan demikian bayak hal positif yang saya peroleh. Harapan saya saat ini ingin terus menghargai dan menghayati panggilan sebagai sebuah proses yang terus berjalan. Refleksi X Membangun Identitas Diri Berdasarkan pengalaman yang saya peroleh di seminari. Ada tiga hal pokok untuk membangun identitas diri, yaitu; belajar, berdoa, dan berdisiplin. Bila melihat realita zaman sekarang, banyak calon imam dan orang katolik pada umumnya, mendapat tantangan dan adanya perubahan yang sangat radikal. Akibatnya terjadi kikisan relasi antar umat beragama. Bila menengok keluar, dunia berubah setiap saat. Adanya perubahan paradigma, kecanggihan IPTEK, pemanasan global dan krisis ekologi, bencana alam dan peristiwa yang menegangkan, dan manusia kehilangan sentuhan alam dan jiwa, sehingga membawa manusia pada pilihan hidup bebas, dan berdampak pada kekaburan hidup. Ada beberapa hal yang perlu saya kembangkan dalam diri saya. Yaitu semangat untuk menanggapi realita panggilan. Selanjutnya untuk menemukan kebutuhan, harapan, dan potensi yang ingin saya kembangkan ada beberapa hal yang mendasari. Pertama, sikap bahagia dan bangga akan hidup panggilan. Tuhan Yesus memanggil saya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Saya mau bergulat langsung dengan realita panggilan. Ketika badai datang menghantam jiwa, saya akan berjuang sampai mendapat titik temu, sekalipun saya harus jatuh bangun. Saya mempunyai tujuan jelas yaitu menjadi rekan kerja Yesus dengan cara menjadi imam. Kedua, komunitas dan kepribadian yang akan saya bangun. Kepribadian yang akan saya bangun (rendah hati, solider, mau berjuang, punya kecerdasan emosi, spiritual, intelektual, sosial, komitmen, tampil beda dan apa adanya, tekun dan tanggung jawab). Komunitas yang akan saya bangun (terbuka, fer, mau bekerjasama, berjuang, tanggung jawab, dan tidak neko-neko). Ada beberapa hal saya sumbangkan secara positive dalam membangun kekuatan bersama. Saya mau berjuang bersama melalui aktivitas-aktivitas harian dan khusus. Mau mengingatkan dan mau diingatkan. Namun banyak tantangan dan kesulitan yang saya hadapi hingga saat ini. Saya malas berdoa, belajar, dan disiplin. Saya suka melihat sisi negatif orang, saya meliaht orang lain tampil sebagai batu sandungan, saya suka iri hati, saya masih ingin menikmati hal-hal duniawi, saya takut untuk berjuang dan hidup jujur, saya kurang menghargai orang lain, saya cenderung menutup diri, saya suka membicarakan kejelekan orang lain, dan saya mudah emosi. Syukur kepada Allah saya menemukan solusi untuk memecahkan masalah yang tengah saya hadapi hingga saat ini. Saya terus berdoa dan berjuang tanpa henti, saya membuat refleksi setiap hari, dan sharing dengan pamong dan saudara-saudara sepanggilan. Melihat begitu banyak aneka tantangan yang saya hadapi, saya harus berani berkontenplasi di tengah kesibukan dan keributan dunia zaman sekarang. Berangkat dari permenungan ini saya menemukan tiga hal peneting yang harus di gali dengan sungguh. Pertama, saya harus menyadari bahwa inspirasi dan intuisi batin mempunyai peranan penting (Allah mencintai manusia). Kedua, apa rahasia panggilan Allah Dalam diri saya?. Ketiga, saya di panggil Allah untuk hidup bahagia. Lalu mengapa di tengah perjalanan hidup ini saya merasa tidak bahagia?. Rupanya ada ketidakseimbangan dalam diri saya antara intelektual, spiritual, dan kerja nyata. Dan yang paling parah, saya sering mengabaikan panggilan. Melalui refleksi ini saya di sadarkan, ketika saya mengalami masa kering dalam panggilan, maka saya harus kemabali pada titik sentral bahwa Allah mencurahkan rahmat. Refleksi XI Menguak Disiplin, Perhatian, Dan Respek Hidup tanpa refleksi adalah kosong. Refleksi adalah media untuk menghadirkan sejuta pengalaman. Pengalaman meliputi pahit dan manisnya kehidupan. Dan hidup bisa menjadi lebih baik bila direfleksikan. Melalui pengantar diatas, saya diajak merefleksikan sikap “keorangtuaan”. Sikap keorangtuaan meliputi disiplin, perhatian, dan respek (rasa hormat). Sebelum saya menguak kilas balik hubungan antara keorangtuaan dan diri saya, saya akan merenungkan arti disiplin, perhatian, dan respek (rasa hormat). Menurut saya, perhatian adalah sikap peduli yang dimiliki seseorang dan ditujukan kepada orang lain dalam komunitas, keluarga, dan masyarakat. Disiplin adalah kepekaan yang dimiliki seseorang dan dituangkan melalui cara hidup. Cara hidup tersebut meliputi sikap taat, tepat waktu, dan lain sebagainya. Respek (rasa hormat) adalah sikap yang dimiliki seseorang untuk saling menghargai dan saling menghormati. Tidak terasa tiga tahun saya mengikuti proses formatio di seminarium marianum keuskupan Malang. Begitu banyak pengalaman yang menopang dan menghantar saya pada suatu perubahan hidup. Perubahan hidup tersebut tampak, mulai munculnya sikap perhatian, disiplin dan respek dalam diri saya. Awal masuk seminari saya belum mengerti arti hidup. Pada suatu saat saya memahami bahwa arti hidup yang sesungguhnyayaitu menanamkan sikap perhatian, disiplin, dan respek (rasa perhatian) dalam diri sendiri, dan mau membagikan sikap-sikap tersebut kepada orang lain. Rasa egois dan intuitif sangat dominan dalam diri saya. Saya memahami melalui refleksi harian yang saya buat. Di dalam refleksi harian saya sering menuliskan, bahwa saya tidak mau berbagi, cuek dengan teman, dan mementingkan diri sendiri. Refleksi tersebut mendorong saya untuk mau berubah. Perubahan tersebut saya rasakan di kelas dua. Saya mau perehatian dengan teman-teman dalam hal study, acara komunitas, dll. Sekalipun sederhana saya sangat menghargai perubahan ini, karena saya yakin inilah awal, inilah dasar, inilah pondasi untuk menuju perubahan yang lebih baik lagi. Disiplin atau tidak disiplin dalam diri saya, nampak melalui proses formatio. Karena formatio berkaitan erat dengan disiplin. Saya termasuk seminaris yang 50% disiplin dan 50% tidak disiplin. Penilaian tersebut muncul melalui cara hidup saya di seminari. Biasanya, saya mewujudkan disiplin melalui studi, doa, dan opus. Tidak disiplin saya alami ketika eskip setelah pulang sekolah (hari sabtu), telat bangun tidur, tidur larut malam, menggunakan telfon dan komputer seminari tanpa seizin dari formator. Sekalipun demikian saya masih berjuang hingga saat ini, supaya lebih baik lagi. Respek (rasa hormat) saya perjuangkan sejak awal. Syukur kepada Allah hingga saat ini saya bisa menghargai diri sendiri dan orang lain. Sekalipun pada suatu saat saya melupakan rasa hormat untuk orang lain dan diri sendiri. Saya yakin melalui proses formatio di tempat ini, saya semakin tumbuh dan berkembang. Ada beberapa komitmen yang ingin saya tanamkan dalam diri saya, agar ke depanya menjadi lebih baik. Saya akan menggali pengalaman, mereflesikannya, melakukan aksi, dan mengevaluasinya kembali. Semoga komitmen dasar ini semakin mendorong saya untuk bertumbuh kembang dalam sikap, perhatian, disiplin, dan respek (rasa hormat). Tuhan saya serahkan usaha-usaha yang telah saya lakukan kedalam tanganmu. Berkatilah komitmen saya, agar saya bisa mengarahkan hidup saya. Ingatkanlah bila sayaberbuat sesuatu yang kurang baik. Amin Refleksi XII Menguak Doa Dan Kaitanya Dengan Panggilan Saya harus berdoa setiap saat karena doa perting dan perlu serta memelihara apa yang ada dalam diri saya. Lalu mengapa saya perlu tersenyum. Karena senyum mengubah perasaan, senyum menular, senyum menghilangkan stress, senyum membuat awet muda, senyum membuat berfikir positif, dan senyum membuat diri lebih menarik. Selanjutnya senyum adalah gambaran Allah. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarnya, menurut gambar Allah diciptakanya dia, laki-laki dan perempuan. Sebagai gambar Allah, kalau berdoa saya harus totalitas. Artinya menggunakan seluruh fisik. Karena rencana Allah saya menjadi gambarnya, dan potensi itu ada dalam diri saya. Oleh karena itu Allah memberikan tawaran agar saya masuk dalam kehidupan kekal. Di sanalah saya berkembang memperoleh kepenuhan dan kebahagiaan yang utuh. Bagaima saya dapat masuk dalam kehidupan ilahi. Jalan yang terbaik yaitu gerbang Allah yang mampu menghantar saya masuk dalam kehidupan ilahi. Namun saya juga harus menyadari bahwa doa merupak relasi antara saya dengan Allah, doa merupakan keterbukaan hati kepada Allah, dan doa bukan sekedar kata dan melebihi tindakan. Dan pada selanjutnya doa mengarah ke mistik. Menghayati kehidupan Allah, dalam persatuan mesra dengan Yesus, menyerahkan diri seutuhnya kepadanya, masuk dalam kontemplasi, dan mistik adalah kehidupan doa mendalam. Allah sungguh memberikan diri seutuhnya untuk saya. Dia menjadi manusia agar saya menjadi ilahi. Hal ini terekspresi melalui sabdanya. Bukan kamu yang memilih aku, melainkan akulah yang memilih kamu. Selanjutnya saya diarahkan untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Dengan mempersatukan kehendak saya dengan Allah. Saat itulah tumbuh kedamaian dan kebahagiaan. Penyerahan diri terus menerus menjadi doa yang tak kunjung putus dan semakin menguduskan saya dan menjadi pribadi yang penuh. Yang awalnya sketsa menjadi lukisan sempurna. Doa bukan lagi pujian sewaktu-waktu. Seluruh hidup saya menjadi doa yang tak berkesudahan. Inilah hidup yang menjadi kemuliaan bagi Allah. Dalam hubunganya yang mesra dengan Bapa mengalirkan segala sabda dan karyanya. Hidup saya sebagai anak Allah berkembang dan mencapai kepenuhannya dalam hubungan yang mesra dengan Bapa. Tuhan menciptakan saya untuk terus berdoa dan berjaga-jaga (Luk 21:36, 1Tes 5:17-18, dst). Doa bapa kami yang diajarkan Yesus kepada para muridnya adalah doa sempurna dan memerlukan kesadaran akan usaha mencapai kekudusan (hendaknya kamu sempurna, seperti bapa sempurna adanya) Buah-buah doa, masuk dalam iklim hubungan yang tiada putusnya dengan Allah. Dalam kemesraan dan kehangatan doa inilah Tuhan mengajarkan hidup yang baik. Ia menanamkan pola kerinduan untuk mengajar kekudusan sesuai dengan ajaran injil. Saya menimba banyak kekuatan doa dalam perjuangan menanggapi hidup panggilan ini. Panggilan yang saya jalani semakin berkembang dan berbunga. Saya akan tetap tersenyum memandang dunia dengan cara yang berbeda. Refleksi XIII Refleksi Selama Liburan Natal “Tidak Ada Waktu Yang Terbuang” Liburan natal tahun ini sangat mengenang. Kenangan yang tak terlupakan saat saya berkumpul bersama keluarga dan saat belajar berpastoral bersama pastor paroki. Bekumpul bersama keluarga adalah moment yang sangat membahagiakan. Rasa bahagia tersebut timbul ketika saya dan keluarga saling meneguhkan, saling memberikan perhatian, dan saling bertukar pengalaman. Kemauan untuk saling mengisi dan meneguhkan merangsang semangat saya untuk berjuang menapaki panggilan. Memang sangat penting bagi saya mendapatkan dukungan dari keluarga. Apalagi saya sering mengalami masa kering menanggapi panggilan. Saat melewatkan waktu sejenak bersama keluarga saya tidak hanya diam. Namun saya mencoba membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan rumah. Saya membantu orang tua melalui tindakan sederhana. Tindakan sederhana tersebut saya realisasikan dengan membersihkan ruangan dan lingkungan rumah. Sangat sederhana namun saya mencoba memaknai tindakan sederhana ini sebagai awal melangkah kedepan. Disela-sela membantu orang tua saya mencoba menjalin hubungan lebih dekat dengan saudari dan saudara yang sudah lama tidak bertemu. Saya jarang bertemu dengan kakak karena setelah lulus di Cor Jesu Malang langsung bekerja sebagai akuntan di Surabaya dan jarang bertemu dengan saya. Sedangkan adik saya masih TK dan juga jarang bertemu dengan saya. Sebagai saudara saya sangat merindukanya. Inilah saat yang tepat bagi saya untuk melepaskan kerinduan. Memang benar dikatakan bahwa segala sesuatu indah pada waktunya. Rupanya kehadiran saya ditengah keluarga juga sangat dirindukan. Hal ini sangat tampak melalui perkataan dan sikap keluarga yang diberikan untuk saya. Saya juga harus ingat dan tidak boleh terkungkung kenyamanan bersama keluarga saja. Tetapi saya juga dituntut untuk berani lepas dari keluarga demi masa depan saya kelak. Lepas dari keluarga bukan berarti menghindari keluarga tetapi berani meninggalkan keluarga sejenak untuk mempersiapkan diri. Saya juga sangat bersyukur karena banyak teman yang masih ingat dengan saya. Teman-teman saya selalu datang kerumah. Tidak hanya datang kerumah mereka juga mengajak saya jalan-jalan. Persahabatan yang sudah saya jalin dengan teman-teman sejak dahulu tidak hilang begitu saja. Justru persahabatan tersebut mengakar dalam hingga sekarang. Itu tadi sekilas mengenai liburan saya bersama keluarga dan teman-teman di rumah. Berbeda lagi ketika saya belajar berpastoral bersama pastor paroki. Tujuan belajar berpastoral sangat jelas yaitu agar saya mampu memahami karya-karya pastoral yang sesungguhnya. Belajar berpastoral memaksa saya untuk setia mengemban sebuah tugas. Berangkat dari rasa terpaksa membuat saya semakin rendah hati untuk menghargai sebuah tugas dengan tindakan konkrit. Hal yang membuat saya tertarik mengikuti proses belajar berpastoral adalah cara yang digunakan pastor paroki membimbing saya. Pastor paroki membimbing dengan rileks tetapi sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa kegiatan yang harus saya jalankan. Kegiatan tersebut adalah kerja bakti lingkungan, kunjungan umat, latihan koor, mendekor gua natal, dan mengisi data statistik umat. Kegiatan tersebut tidak berjalan begitu saja namun membutuhkan proses panjang. Melalui proses tersebut saya diarahkan untuk memahami bahwa kehidupan pastoral tidak semudah yang saya bayangkan. Saya diarahkan untuk berani turun tangan bersama umat. Banyak suka duka yang saya alami. Namun itu semua turut mewarnai diri saya sebagai seminaris. Selama belajar berpastoral saya merasa sangat dekat dengan umat. Umat bagaikan keluarga bahkan orang tua saya sendiri. Makna yang bisa saya ambil dari liburan natal adalah saya sebagai seorang seminaris diarahkan untuk membawa terang bagi sesama. Terang tersebut telah saya realisasikan melalui berbagi macam kegiatan yang telah saya refleksikan diatas. Semoga apa yang sudah saya lakukan saat liburan membawa semangat baru dalam diri saya untuk mempersiapkan hari depan. Amin Refleksi Natal Malam “Damai Sejahtera” (2Sam 7:1-5.8b-12.16; Luk 1:67-79) “ Dan Zakharia, ayahnya, penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya: "Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu, -- seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus -- untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita, untuk menunjukkan rahmat-Nya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjian-Nya yang kudus, yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita, supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut, dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya seumur hidup kita. Dan engkau, hai anakku, akan disebut nabi Allah Yang Mahatinggi; karena engkau akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya, untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka, oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera." (Luk 1:67-79). Berefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya ada beberapa hal yang mengena dan menarik untuk diri saya. Kidung Zakharia menjadi suatu ajakan bagi saya untuk menghayati bahwa selama sepanjang hari hendaknya saya percaya bahwa “Allah senantiasa menjaga dan membimbing saya”. Dengan kata lain saya dituntut untuk tidak takut menghadapi aneka tugas baik sebagai calon imam maupun sebagai pelajar yang selalu berhadapan dengan tantangan, hambatan dan masalah. Sebagai manusia lemah saya diajak untuk “mengarahkan hidup saya kepada jalan damai sejahtera”, yang harus saya hadapi dengan penuh harapan, ceria, gairah dan dinamis. Saya juga dituntut kesediaan diri total untuk mau diarahkan oleh Allah dalam kondisi dan situasi apapun. Selain menghadapi diarahkan dengan semangat kidung Zakharia, saya harus memahami bahwa “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat 3:22-23). Tuhan setia pada janjiNya untuk menolong saya dari belenggu dosa dengan menjadi manusia hina. Semoga melalui peringatan kedatangan sang injili ini saya mau membuka mata, hati, dan pikiran untuk hidup setia pada panggilan dan tugas saya sebagai seorang pelajar, dengan harapan damai sejahtera menjadi nyata dalam diri saya maupun kehidupan bersama di seminari maupun di masyarakat (menggereja). Apakah yang terkandung dalam hati saya pada saat ini, saat menantikan pesta Natal yang akan segera tiba? Saya percaya bahwa saya mendambakan hidup dalam damai sejahtera, untuk itulah saya sangan berharap akan bantuan rahmat Tuhan yang senantiasa menyertai saya. Dengan penyertaan atau pendampingan Tuhan saya yakin akan mampu mewujudkan damai sejahtera yang menjadi dambaan hati saya. Hati adalah pusat hidup dan jati diri manusia, sebagaimana dari Hati Yesus Yang Mahakudus ketika ditusuk tombak mengalir ‘air dan darah segar’, symbol kehidupan dan keselamatan, semoga sayapun juga keluar serta menghasilkan kehidupan dan keselamatan yang didambakan oleh semua orang. “Aku hendak menyanyikan kasih setia TUHAN selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit. Engkau telah berkata: "Telah Kuikat perjanjian dengan orang pilihan-Ku, Aku telah bersumpah kepada Daud, hamba-Ku: Untuk selama-lamanya Aku hendak menegakkan anak cucumu, dan membangun takhtamu turun-temurun.” (Mzm 89:2-5) Refleksi Natal Pagi “Keluar Dari Kegelapan=Berusaha Menjadi Lebih Baik” (Yes 9:1-6; Tit 2:10-14; Luk 2:1-14) “Sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa” Pertama-tama saya ucapkan “SELAMAT NATAL”, selamat merayakan hari Kelahiran Penyelamat Dunia untuk saudara-saudara sepanggilan di seminari maupun diluar seminari. Bagi banyak orang kelahiran seorang anak pada umumnya sungguh membahagiakan, membuat hidup lebih ceria dan bergembira. Secara khusus ibunya atau orangtuanya pasti akan membaktikan diri sepenuhnya bagi anak yang baru saja dilahirkan, dan dengan demikian pasti akan memiliki cara hidup dan cara bertindak baru, lebih-lebih atau terutama bagi sang ibu. Kegembiraan dan keb`hagiaan akan semakin besar ketika tahu bahwa anak yang telah dilahirkan menjanjikan sesuatu yang besar, menyelamatkan dan membahagiakan, terutama jiwa manusia. Hari ini adalah perayaan Penyelamat Dunia, suatu pemenuhan janji Allah untuk menyelamatkan seluruh dunia terutama bagi saya yang masih bergulat dalam kubangan dosa, maka saya harus menyambut perayaan natal dengan gembira. "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” (Luk 2:10-12) Warta Gembira Natal pertama-tama disampaikan oleh para malaikat Allah kepada para gembala domba di padang rumput. Para gembala domba dalam tata susunan social atau kemasyarakatan pada masa itu termasuk kelompok yang tersingkirkan atau kurang memperoleh perhatian. Maka warta gembira Natal bagi mereka berarti suatu pengangkatan mereka sebagai manusia untuk menjadi sejajar dengan manusia lainnya, dan hal itu sungguh merupakan ‘kesukaan besar’ bagi mereka. Allah yang menjadi Manusia seperti kita kecuali dalam hal dosa merupakan wujud solidaritas Allah kepada semua umat manusia di dunia ini. Berpartisipasi dalam berbagai macam kegiatan positif untuk banyak orang pada masa kini harus menghadapi aneka masalah, tantangan dan hambatan, lebih-lebih ketika harus berbuat jujur dan disiplin dan realita tersebut benar-benar saya rasakan. Sang Penyelamat Dunia yang mendatangi saya untuk membebaskan dari belenggu dosa lahir “ dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan”, dengan kata lain Ia dilahirkan dalam kesederhanaan atau kemiskinan, yang menandakan bahwa Ia juga akan hidup dalam kesederhanaan dan kemiskinan. Melalui refleksi ini saya disadarkan untuk hidup sederhana dan bersemangat miskin, terbuka terhadap aneka macam kemungkinan dan kesempatan. Maka saya sebagai seorang calon imam harus mau hidup sederhana dan bersemangat dan berjiwa miskin. “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” (Yes 9:1). Dengan demikian saya di ajak untuk segera keluar dari kegelapan. Dengan kata lain saya yang masih terkunkung dosa diajak untuk bertobat. “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi! Menyanyilah bagi TUHAN, pujilah nama-Nya, kabarkanlah keselamatan yang dari pada-Nya dari hari ke hari. Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di antara segala suku bangsa. Biarlah langit bersukacita dan bumi bersorak-sorak, biarlah gemuruh laut serta isinya, biarlah beria-ria padang dan segala yang di atasnya, maka segala pohon di hutan bersorak-sorai di hadapan TUHAN, sebab Ia datang, sebab Ia datang untuk menghakimi bumi. Ia akan menghakimi dunia dengan keadilan, dan bangsa-bangsa dengan kesetiaan-Nya.” (Mzm 96:1-3.11-13) Demikianlah refleksi yang dapat saya tuliskan. Semoga refleksi ini dapat menyadarkan saya akan pentingnya terang zaman sekarang. Saya juga berharap agar refleksi ini berguna bagi saudara-saudari yang berkenan membacanya. Makna yang dapat saya ambil dari refleksi ini adalah pentingnya kemauan saya untuk menjadi terang bagi sesama. Artinya saya harus terus berjuang membagikan terang melaui kesederhanaan bagi saudara-saudari yang masih berada dalam kegelapan. Tuhan berkatilah setiap langkah yang akan saya lakukan kedepan. Amin Refleksi XIV Retret Seminarium Marianum Di Sawiran 21-23 Januari 2012 Hari pertama Hari ini saya sangat bahagia, karena tiba di tempat retret dengan selamat. Retret tahun ini di adakan di Sawiran-Kab. Pasuruan. Rumah retret yang saya tempati ini di kelola oleh romo-romo CDD. Sudah lama saya tidak mengikti retret bila di hitung, saya tidak mengikuti retret komunitas seminari lebih dari satu tahun. Rupanya saya merindukan sesuatu. Rasa rindu belum terlalu jelas dan mengawang. Mungkin saya rindu dengan perubahan hidup, yang lama menjadi baru. Hati dan pikiran saya mengalami sedikit tekanan dan tidak nyaman. Biarlah rasa tidak nyaman turut mewarnai retret tahun ini. Di awal sesi, saya penasaran dengan suster yang mendampingi retret. Ketika suster tersebut mengenalkan diri secara lengkap, saya menaruh simpati padanya. Suster tersebut bernama Sr. Rosa Damai Rahayu, SSPS. Sr. Rosa lahir di Madura dan keluarganya santri. Semasa mudanya Sr. Rosa sangat ramah dan mudah bergaul. Sebelum masuk biara SSPS, Sr. Rosa salah seorang tokoh anti kristen di Malang. Selama menghadapi pergulatan hidup Sr. Rosa mengalami kecemasan dan ada sesuatu yang belum terpenuhi dalam hidupnya. Sr. Rosa pada suatu saat melihat tayangan Mother Teresa dari kalkuta di televisi, mulai saat itulah Sr. Rosa terpanggil hidup membiara. Sr. Rosa berjuang menanggapi panggilan Tuhan hingga sekarang. Saya sangat terinspirasi dengan Sr. Rosa. Sebelum menjadi biarawati Sr. Rosa memusuhi Yesus dan sekarang menjadi pewarta injil Yesus. Melalui pengalaman Sr. Rosa, saya di arahkan untuk memperbaharui diri. Banyak hal negatif dalam diri saya, dan harus saya tinggalkan pelan-pelan. Memang tidak semudah membersihkan papan tulis dan lantai. Tetapi saya yakin melalui perantaraan Tuhan Yesus Kristus saya bisa melakukannya. Sekarang saya akan menyelami pribadi saya dengan kaca mata hati. Hingga saat ini saya masih bangga dan bahagia dengan panggilan. Rasa bangga dan bahagia muncul disebabkan beberapa faktor. Pertama, saya terdorong dengan tujuan awal masuk seminari (menanggapi panggilan Allah). Kedua, saya di dorong dan di semangati banyak orang, melalui doa, motivasi, dan materi. Saya akan terus berusaha meningkatkan kualitas hidup dasar saya, melalui kerendahan hati, tekun, semangat, komitmen, solider, dan terbuka. Ada beberapa peranan yang saya lakukan dalam hidup bersama, guna menumbuh kembangkan komunitas dan diri sendiri. Saya menjalin relasi dengan baik, melalui komunikasi dan budaya yang saling mengingatkan. Namun banyak kesulitan-kesulitan yang saya alami hingga saat ini. Saya mudah emosi, sombong, iri hati, dan suka menaruh pikiran jelek pada orang lain. Di tengah saya mengalami kesulitan, saya di bantu oleh Tuhan. Bantuan tersebut saya terima melalui doa dan refleksi yang selalu di jawab Tuhan. Itulah hasil refleksi saya hari pertama. Semoga apa yang saya peroleh di hari pertama ini, memotivasi saya untuk memperjuangkan panggilan kudus. Yang melekat dan saya terima dengan Cuma-Cuma. Hari kedua Acara hari ini sangat penuh, pagi sampai malam. Acara dimulai dengan bangun pagi dan mandi, berdoa bersama dan mengikuti perayaan ekaristi. Ada pesan yang saya terima pagi ini, sebagai seorang seminaris saya harus berjuang mencari titik sentral jati diri saya yang sesungguhnya. Kemudian, di lanjutkan dengan sarapan pagi dan istirahat sejenak. Seusai istirahat saya dengan teman-teman harus bergulat dengan materi retret. Kali ini, saya di arahkan untuk memahami bejana hidup yang ada dalam diri saya. Ada banyak material yang terkandung dalam bejana hidup. Antara lain; kekuatan dasar, kekuatan peranan, kekuatan tipe, kekuatan pengaruh, dan kekuatan perubahan. Di dalam lima material masih ada unsur-unsur yang terkandung. Melalui pembahasan materi retret saya menemukan kekuatan yang ada dalam diri saya. Kekuatan dasar, dalam kekuatan dasar saya menemukan kekuatan spiritual, kekuatan sosial, dan kekuatan adversity. Tiga hal ini, tanpa saya sadari sangat mempengaruhi hidup saya. Kekuatan- kekuatan inilah yang menopang dan membuat saya bertahan di seminari hingga sekarang. Kekuatan peranan, dalam kekuatan peranan saya menemukan kekuatan memimpin, kekuatan penanggung jawab, dan kekuatan pengikut. Sungguh proses kehidupan sangat rumit dan detail. Sampai pada suatu kesempatan saya menemukan dan mengalami kekuatan dari Allah. Kekuatan tipe, dalam kekuatan tipe saya menemukan kekuatan melankolis. Sejak dahulu saya hidup dalam keluarga dan lingkungan yang sederhana dan tenang. Dan sekarang sangat namapak dalam kepribadian saya. Kekuatan pengaruh, dalam kekuatan pengaruh saya menemukan kekuatan spiritual, kekuatan reflektif, kekuatan seni-budaya, kekuatan akademis, dan kekuatan sosial masyarakat. Empat kekuatan ini saya dapat sejak menempuh pendidikan di seminari marianum. Dan hingga sekarang saya terus memperjuangkanya. Kekuatan berubah, saya merindukan perubahan. Dengan diri sendiri maupun bersama-sama. Dengan harapan, saya semakin bertumbuh kembang dalam sendi –sendi kehidupan. Seusai pembahasan materi dan permenungan dalam kelompok, saya mengikuti makan siang bersama. Setelah makan siang ada acara, namanya perjalanan menuju emaus. Saya di beri kesempatan berjalan-jalan hingga pukul tiga sore, kebetulan saya berpapasan dengan Deby. Saya dan Deby memutuskan jalan-jalan dengan jarak jauh. Di tengah perjalanan saya ingin numpang pickup, namun tidak ada satu orang pun yang mau memberikan tumpangan. Saya dan Deby memutuskan terus berjalan sambil ngobrol kesana-kemari, sekalipun badan terasa capek dan lemas. Tepatnya di pertigaan jalan raya, saya melihat papan bertuliskan “INDOMART”. Rencanya saya akan membeli mie gelas dan kopi. Rasanya jarak yang saya tempuh semakin jauh dan saya sangat kecewa karena indomart tidak kunjung saya temukan. Kebetulan ada pemuda di pinggir jalan, dan saya menanyakan jarak indomart apakah masih jauh. Rupanaya indomart masih dua kilo lagi. Saya semakin lemas dan patah semangat. Melihat perjalanan sangat jauh saya mengajak Deby untuk pulang. Saya sangat kawatir karena hari semakin sore. Melihat banyak mobil, sepeda motor, truck, dan pickup, saya mempunyai inisiatif untuk numpang. Kurang lebih tiga puluh menit mencari tumpangan, namun tidak ada satu orang pun yang mau menolong dan memberikan tumpangan. Saya dan Deby terpaksa jalan kaki kembali menuju rumah retret. Selama perjalanan pulang saya semakin kawatir karena hari semakin sore dan situasi hujan. Pengalaman perjalanan emaus ini, mengungkapkan bahwa perjuangan itu sangat penting dan tidak sekedar menggantungkan diri pada orang lain. Untuk acara malam hari ini sharing bersama, nonton film, dan dilanjutkan dengan istirahat malam. Sungguh hari ini saya sangat bersyukur, bisa menjalani hidup bersama teman-teman. Saya mendapatkan pengetahuan, pengalaman, kegembiraan, dan sesuatu yang positif. Rasanya hidup ini sangat berarti dan indah sekali. Hari ketiga Acara hari ini di awali dengan senam pagi. Badan saya terasa kaku, sudah satu minggu tidak olahraga. Sejuknya udara pagi dan keceriaan hati membuat suasana jiwa dan raga hidup. Seusai pemanasan, saya bersama komunitas seminari berjalan menyusuri perkampungan. Jalan berbatu-batu dan terjal. Teringat situasi jalan menuju rumah saya yang berbatu-batu, sebelum di bangun. Namun bukanlah suatu persoalan bagi saya. Langkah demi langkah saya ayunkan dengan gembira. Sambil melihat warga melakukan aktivitas pagi hari. Ada yang mencari rumput, menambang pasir, masak, berjualan, membersihkan kendaraan bermotor, sekolah, mengolah susu perah, dan masih banyak hal lain yang di lakukan. Jalan yang saya lalui jauh dan melelahkan. Namun rasa lelah terhapus kegembiraan yang muncul dan membakar hati. Seusai jalan sehat, di lanjutkan dengan sarapan pagi dan bersih diri. Tidak terasa sudah hampir tiga hari saya berada di tempat retret. Rasanya tidak mau pulang dan ingin berlama-lama lagi di tempat retret. Rencananya siang nanti saya dan komunitas seminari akan meninggalakan tempat retret. Sebelum pulang ada tiga acara yang harus saya ikuti dengan baik. Pertama, tentang pemantapan materi dan membuat komitmen angkatan. Kedua, perayaan ekaristi sebagai ucapan syukur lancarnya retret. Ketiga, makan siang bersama dan sayonara. Kurang lebih selama menikuti retret, saya termotivasi untuk melakukan pembaharuan diri. Dari segi berfikir, berbicara, dan bertindak. Banyak kekurangan dan kelebihan dalam diri saya. Saya juga di sadarkan untuk tetap komitmen menjalani panggilan hidup ini. Saya juga di tuntut untuk mau rendah hati mengikuti proses formatio di seminari. Sekalipun badai silih berganti, totalitas dan kesungguhan untuk menghadapi badai akan saya perjuangkan terus menerus. Semoga melalui refleksi ini, saya semakin berkembang dalam iman dan panggilan. Amin Refleksi XV Youth Cristian Caracter Building Desela-sela liburan seminari, saya mengikuti kemping rohani dekenat selatan Malang. Kemping rohani diadakan tanggal 4-6 Juli 2011 di Jedong-Malang. Saya beserta rombongan OMK berangkat dari Paroki Lodalem menuju Jedong-Malang pukul 12.00 WIB. Perjalanan terasa menyenangkan, dengan indahnya alam dan lorong-lorong perkotaan. Saya bersama rombongan tiba di tempat kemping pukul 15.00 WIB. Saya beserta rombongan mengikuti registrasi dan pemeriksaan seperlunya, berkaitan dengan tata tertib kemping rohani. Proses registrasi dilanjutkan dengan istirahat dan bersih diri. Tepat pukul 16.00 WIB, acara kemping rohani diawali dengan sosialisasi acara dan tata tertib diruang acara. Saya sedikit cangguh bergaul dengan rekan-rekan OMK, karena 3 tahun hidup di seminari dan jarang pulang. Rasa cangguh ini harus saya buang, karena saat ini adalah kesempatan untuk melepas rasa penat, berkreasi, dan berelasi. Acara dilanjutkan dengan seminar tentang kepemimpinan dan organisasi. Pembicaranya sangat semangat menyampaikan materi. Setelah mengikuti sesion pertama, tiba-tiba muncul pertanyaan dalam diri saya. Apakah menjadi pelayan Tuhan dan sesama harus melalui organisasi?, bukankah itu hanya salah satu dari sekian banyak pilihan. Seusai seminar kami makan malam bersama. Namun waktunya sangat singkat, saya tidak nyaman dalam kondisi seperti ini. Lebih membosankan lagi, acara dilanjutkan dengan seminar. Saya kurang menikmati seminar, karena monoton. Rupanya malam mulai larut, kini kami membaringkan diri dan tidur. Sepanjang hari ini, saya merenungkan bahwa setiap peristiwa harus dinikmati dan disyukuri. Sekalipun peristiwa tersebut, membuat suasana jiwa dan raga tidak nyaman. Untuk itulah saya harus berani belajar menghadapi realita kehidupan. Hari ini adalah hari kedua, acara hari ini diawali dengan jalan sehat dan senam pagi. Saya mengeluh, karena oto-otot saya dipaksa dilenturkan. Tampak bahwa saya tidak suka olahraga. Saya tidak tahan, apalagi senam tidak selesai-selesai dan membosankan. Kira-kira pukul 08.00 WIB kami sarapan. Seusai makan saya segera bersih diri, karena acara akan dimulai lagi. Saya langsung menggabungkan diri di ruang acara, membicarakan PENSI kelompok. Saya bersama kelompok segera berunding dan membuat kesepakatan. Hasil perbincangan, kelompok saya akan menampilkan teater kontenporer dengan tema “malin kundang”. Hari sudah siang, kami semua beranjak ke ruang makan untuk melepas rasa lapar kami. Setelah makan siang, saya istirahat sambil merenung. Tiba-tiba saya terbangun, rupanya hari sudah sore. Saya segera bersih diri, karena sudah ditunggu kelompok untuk latihan teater. Latihan berlangsung tertib dan lancar, artinya nanti malam kelompok saya siap tampil. Saking asiknya latihan, tidak terasa sudah petang dan perut kami memanggil-manggil minta jatah makanan. Selama makan saya terus membayangkan penampilan teater kelompok saya. Setelah makan malam, kami menuju halam besar mengawali PENSI dengan menyalakan api unggun. Hati saya semakin berdebar-debar, karena kami harus tampil. Bermodalkan percaya diri, kelompok saya tampil maksimal. Saya sangat salut dengan OMK dekenat selatan Malang, mereka antusias mempersiapkan dan mengikuti acara ini. Acara PENSI terus berlanjut, saya duduk bersama OMK dari paroki lain, dan disitulah kami berbagi pengalaman. Banyak hal saya dapatkan, pertama “masa remaja adalah masa mencari jati diri”, kedua “relasi sangat penting di zaman sekarang”. Setelah puas berbagi pengalaman, saya istirahat membaringkan diri dan tidur. Sebelum memejamkan mata, saya mengucap syukur atas nafas kehidupan hari ini. Refleksi XVI Temu Seminari Regio Jawa-Bali 2011 Para seminaris yang tergabung dalam Paguyuban Seminari Regio Jawa-Bali, ditantang untuk berani menghayati spiritualitas pelindung seminari mereka masing-masing. “Kalau ingin tetap tingal di seminari menjadi seminaris tentukan spiritualitas apa yang Anda pilih. Pilih spiritualitas yang benar-benar ingin Anda hidupi, dan peluk sampai mati,” kata Pastor Agustinus Setyodarmono, SJ kepada 280 seminaris yang mengikuti temu seminaris regio Jawa-Bali di Seminari ‘Petrus Kanisius’, Mertoyudan, Magelang, 22 Juni. Pertemuan yang berlangsung pada 20-23 Juni dan diikuti oleh siswa Seminari ‘Petrus Kanisius’ Mertoyudan, Seminari Wacana Bakti (Jakarta), Seminari Stella Maris (Bogor), Seminari ‘Vincentius a Paulo’ (Surabaya), Seminari Marianum (Malang) dan Seminari Roh Kudus (Denpasar). Sedangkan siswa Seminari ‘Cadas Himat’, (Bandung) berhalangan hadir. Pastor socius Novisiat Jesuit Girisonta itu juga menantang para seminaris agar berani memberi arti pada panggilannya untuk menjadi imam dengan kesadaran yang tinggi. Ia juga mengingatkan empat unsur yang mesti dikelola dengan baik oleh para seminaris, yaitu kepala, hati, seks dan tangan. “Kalau ingin menjadi imam yang baik maka sejak di seminari para seminaris harus bisa menggunakan kepalanya (otaknya) untuk berpikir yang baik dan benar, bisa menggunakan hatinya untuk mencintai umat dan sesamanya, bisa mengendalikan seks dengan baik, serta bisa menggunakan tangannya untuk berbuat sesuatu atau untuk menolong,” kata pastor yang sering dipanggil Pastor Nano. Menurut Pastor Antonius Saptanahadi Pr, Pamong Seminari ‘Petrus Kanisius’, Mertoyudan, pertemuan kali ini bertujuan untuk menyemaikan benih-benih kolegialitas para calon imam. “Biar para seminaris, dari seminari mana pun, kelak kalau sudah menjadi imam hendaknya tetap berada dalam kerangka kerja sama untuk membangun Gereja Indonesia. Juga agar para seminaris menyadari bahwa dalam perjalanan menjalani panggilan imamat ini mereka tidak sendirian,” kata Pastor Antonius. Satu hati, satu tekad, dan satu panggilan Kegiatan ini diadakan di Seminari St. Petrus Kanisius Mertoyudan tanggal 20-23 Juni 2011, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Seminari Mertoyudan yang jatuh pada 2 Juni 2012. Kegiatan yang bertemakan: Satu Hati, Satu Tekad dan Satu Panggilan ini diikuti oleh 217 seminaris dan 45 pendamping dari 6 seminari menengah se-Jawa Bali. Keenam seminari menengah tersebut adalah: Seminari Wacana Bhakti Jakarta, Seminari Stella Maris Bogor, Seminari St. Petrus Kanisius Mertoyudan, Seminari St. Vincentius a Paulo Garum, Seminari Marianum Probolinggo, dan Seminari Roh Kudus Tuka Bali. Mgr. Domi mengajak para seminaris (formandi) dan pendamping (formatores) sekalian untuk belajar dari sosok Abraham, yang setelah dicobai begitu rupa namun tetap setia kepada Tuhan. Panggilan Abraham adalah sebuah “panggilan terlambat” karena baru pada usia 76 tahun ia dipanggil Tuhan meninggalkan rumah, keluarga dan tanah airnya menuju suatu tempat yang ditentukan Tuhan. Namun tidak ada kata terlambat dalam kamus Tuhan. Ketika dipanggil Abraham hanya membawa tenda-nya (shekinah-Ibrani) yang mudah dibuka pasang. Sebuah symbol kerapuhan dan kesementaraan (impermanensi) hidup kita. Kita semua perlu merenungkan kembali apa saja yang dibawa ketika masuk ke seminari pertama kali. Barang-barang apa saja yang kita nyatakan berharga dan perlu bagi hidup kita? Dalam malam keakraban, Rm. Saptana, Rm. Wanta, Rm. Cahyono dan Mgr. Domi menggaungkan kembali harapan gereja agar para Seminaris perlu menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk menjadi imam-imam harapan Gereja. Embrio kolegialitas di antara para imam dapat diusahakan sejak masih di bangku seminari menengah. Satu hati di dalam Yesus Kristus, Satu Tekad untuk Imamat yang mulia, dan Satu Panggilan untuk berkarya di kebun anggur Tuhan kiranya bukan sekedar slogan kosong, tetapi sesuatu yang perlu dikonkritkan dalam perjuangan selanjutnya. Hari kedua 21 Juni 2011 ini dipadati dengan kegiatan kunjungan ke Museum Misi dan ziarah ke Makam Kerkoff Muntilan. Para seminaris tidak saja bersentuhan dengan sejarah masa lalu karya misi penting di tanah Jawa tapi juga belajar dari keuletan dan ketekunan para tokohnya. Sebut saja Rama Van Lith, Rama Sanjaya, dan tokoh-tokoh awam. Para seminaris diajak untuk mengenal dekat para misionaris dan semangatnya di keuskupannya masing-masing. Selanjutnya para seminaris diantar ke desa Sumber, lereng Gunung Merapi. Rombongan diajak menyusuri sungai berbatu dan berpasir berbentuk jurang yang memanjang. Para Semhnaris diantar untuk belajar dari ketangguhan masyarakat Sumber yang menjadi korban letusan Merapi pada Oktober dan November 2010 lalu. Kesaksian iman umat Kristiani di Gubuk Sela Merapi (GSM) bahwa bencana ini juga sebuah berkah bagi kebersalaan, solidaritas, dan persaudaraan di antara mereka dengan saudara-saudaranya yang non kristen. Di hadapan derita paksa alam, kita hanyalah makhluk kecil nan rapuh, dan di situ orang mudah menjadi saudara satu sama lain. Bagian akhir dari kegiatan outing ini adalah kunjungan ke Candi Borobudur. Setelah kurang lebih 20 menit menyaksikan klip tentang sejarah penemuan dan pemugaran Candi Borobudur, rombongan dibagi menjadi tiga group ditemani oleh tiga pemandu. Kami diantar Pak Wandi untuk menyusuri satu demi satu relief-relief di dinding candi. Begitu mengesan sekali penjelasannya. Tour berakhir di Museum Karmawibhangga: museum kapal Pinisi. Pelajaran yang ingin ditekankan dalam kegiatan ini adalah bagaimana kita memaknai sejarah yang ada di sekitar kita. Kultur adiluhung, spiritualitas mondial, dan arsitektural yang mumpuni jadi warisan bangsa yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Hari ketiga 22 Juni 2011 ini diisi dengan sharing kekhasan spiritualitas masing-masing seminari, spiritualitas pelindung atau pendiri. Para Seminaris diajak untuk belajar juga dari spiritualitas Petrus Kanisius selaku pelindung Seminari Mertoyudan. Bagaimana gaya dan semangat hidup Petrus Kanisius, apa yang bisa dipetik dan dihayati oleh orang-orang muda dewasa ini? Itulah mata rantai kegiatan hari ini. Pada sore hari diadakan olah raga bersama. Mulai dari sepak bola, futsal, basket, voli, dan pingpong. Kegiatan yang dimaksudkan untuk memperbanyak kebersamaan dan persaudaraan. Malam hari diisi dengan kegiatan pentas seni (pensi). Seminari Wacana Bhakti menegaskan dirinya sebagai kampiun orchestra; Seminari Bogor mengeluarkan drama dan box music; Seminari Mertoyudan menampilkan Sendratari Kisah Petrus Kanisius; Seminari Garum mempragakan puisi teatrikal; Seminari Marianum menyuguhkan drama Minakjinggo; dan Seminari Tuka mengeluarkan tari majejangeran. Keragaman dan kekhasan masing-masing daerah begitu menonjol sebagai buah kreativitas para seminaris. Kesatuan tergambar dari antusiasme para seminaris mengapresiasi penampilan teman-teman mereka dari seminari lain. Refleksi XVII Tujuh Pilar Kehidupan Refleksi XVIII Puisi ***Ungkapan Hatiku*** Tuhan... Dikau memanggil hambamu yang hina ini Yang sering menodai namamu Dengan berbagai macam tingkah laku Bila engkau berkenan Aku akan berjuang Menjadi misionaris fransiskan Mewartakan kesaksian hidupmu Aku juga mohon berkatmu Agar proses formatio ini Dapat akau jalani dengan baik Guna mempersiapkan hari depanku Aku dihadapkan banyak tantangan dan pilihan Sebagai muridmu Aku akan memilih jalan hidup yang terbaik Bagi Gereja dan masa depanku Tuhan pergulatan hidupku masih panjang Aku ingin mengisi dan memaknai Ingatkanlah aku bila aku salah Tariklah aku, bila aku berdosa Tanamkanlah semangat injilmu Aku akan mengenang selalu Dan menjadikan dasar Untuk ke depan. Amin Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo Sawiran, 22 januari 2012 ***Berharap*** Tuhan aku merasakan dinginya malam Lantunan lagu syukur menemaniku Saudara-saudaraku ada di sampingku Berkumpul dalam naungan kasihmu Aku takut akan noda dosa Tapi aku sering berbuat salah Tuhan aku sadar aku manusia lemah Raupan wajahmu menyinari hatiku Bagaikan lentera yang menerangi kegelapan Demikian dikau menerangi hambamu Yang lemah dan hina ini Tuhan... Mungkin itulah saat yang tepat Setelah sekian lama aku mengabaikan Tuhan aku ingin kembali padamu Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo Sawiran, 22 januari 2012 ***Pilihan dan Keputusan*** Aku akan mewarnai hidupku dengan prestasi Aku akan membuat management diri yang kuat Aku akan menjadi pemimpin yang benar-benar memimpin Aku akan mengarahkan hidupku sebagai calon imam. Didasari doa, disiplin, belajar Aku akan tegas dengan keputusanku Aku akan menjadi misionaris fransiskan Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo Sawiran, 22 januari 2012 ***Terima Kasih*** Tuhan terima kasih Engkau menciptakan aku Melalui perpaduan kasih Antara ayah dan ibu Aku dididik dan dibesarkan Aku di sekolahkan dan diberi makan Aku mendapat kasih sayang Aku merasa bahagia hingga Sekarang Banyak orang terlibat dalam hidupku Tanpa mereka Diriku tidak terlukis Seperti bejana ini Oh Tuhan... Terima kasih Dikau mengirimkan banyak orang Demi kebahagiaan diriku Kini aku sadar Aku harus berubah Meninggalkan cara hidup lama Dan mengenakan hidup baru Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo Sawiran, 22 januari 2012 ***Terbuka Untuk Tuhan*** Jiwaku terbuka untuk-Mu Tuhan Dengan rela kuserahkan diriku untuk-Mu Kan kukenang nama-Mu dihatiku Kan kumuliakan Dikau sepanjang waktu TUHAN...TUHAN... Tariklah aku bila aku menghindari persaudaraan Ingatkanlah aku bila aku menyakiti saudaraku Tamparlah aku bila aku menyakitimu Tuhan, singkapkanlah semua masalah yang terselubung pada diriku Supaya aku tenang Supaya aku layak dihadapan-Mu Untuk sekarang dan selama-lamanya. Amin Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo Probolinggo, 7 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar